Wednesday, October 07, 2009

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DEMAM THYPHOID

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DEMAM TYPHOID
Oktober 2009
I. PENDAHULUAN
Demam typhoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi, atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella adalah kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan anaerob fakultatif yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi memiliki antigen H yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang terletak pada envelope, serta komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding sel.1
Di Indonesia demam typhoid merupakan penyakit endemik yang menular seperti yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah, dengan pola penularan yang bersifat sporadik. Dua sumber penularan demam tifoid adalah pasien dengan demam tifoid dan yang terbanyak adalah carrier dimana 109 sampai 1011 kuman per gram tinja dikeluarkan oleh mereka. Media penularan adalah air dan makanan yang tercemar oleh kuman S.typhi.1
Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.1
Diagnosis demam typhoid tidak selalu didapatkan setelah semua kriteria diagnosis terpenuhi, mengingat panjangnya perjalanan penyakit tersebut. Gejala klinis yang khas dapat menjadi dasar untuk pemberian terapi empirik sebelum pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan guna mencegah perburukan atau komplikasi lebih lanjut dari penyakit tersebut. Tidak jarang pula diagnosa demam typhoid ditegakkan secara eksjuvantibus.1
Diagnosis klinis terutama ditandai oleh adanya panas badan, gangguan saluran pencernaan, gangguan pola buang air besar, hepatomegali/spleenomegali, serta beberapa kelainan klinis yang lain. Diagnosis laboratoris kebanyakan di Indonesia memakai tes serologi Widal, tetapi sensitifitas dan spesifisitasnya sangat terbatas, belum ada kesepakatan titer dari masing – masing daerah. Biakan S. Typhi merupakan pemeriksaan baku emas, tetapi hasilnya seringkali negatif dan memerlukan waktu lama, padahal dokter harus segera memberi pengobatan. Beberapa serodiagnostik lain yang telah dikembangkan seperti TUBEX, merupakan pemeriksaan Immunoassay yang dapat mendeteksi anti-salmonella 09 dengan sensitivitas dan spesifisitas 100%.2
Tatalaksana demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Pemberian antimikroba diharapkan dapat menurunkan lama sakit dan kematian. Klorampenikol, ampisilin, amoksisilin dan kotrimoksasol merupakan obat konvensional yang di beberapa negara melaporkan kurang efektif sehubung dengan munculnya strain MDR. Flurokuinolon, sefalosporin dan seftriakson merupakan pilihan lini kedua. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.1,2
II. TINJAUAN KASUS
DEMAM TIFOID DAN PARATIFOID
Demam tifoid dan Paratifoid tipe A, B dan C disebabkan oleh Salmonella enterica serovoar typhi dan serovoar Paratyphi A, B dan C. Bakteri ini adalah bakteri gram negatif yang tidak berkapsul, mempunyai flagella sehingga selalu bergerak dengan menggunakan flagella peritrikosa. Ada 3 macam spesies utama salmonella (salmonella typhi, choleraesuis dan enteridis). Spesies Salmonella merupakan famili enterobacteriaceae yang menyebabkan penyakit enterik yang populer. Demam thypoid yang disebabkan S.Thypi sangat menarik perhatian terutama antigen yang terdapat pada permukaan kapsulnya. Terdapat empat komponen antigenik penting pada S. Thypi, (1) capsular Vi polysaccharide yang terletak pada lapisan luar, mengandung 2 kelompok determinan antigen yang memiliki potensi terjadinya reaksi antigen antiodi, merupakan antigen independen limfosit T dan respon immunnya dimediasi oleh sel B, (2) lipopolysaccharide (LPS), mengandung 2 determinan antigen, dikenal dengan endotoksin, merupakan rantai heteropolisakarida unit oligosakarida (O antigen) terjalin ke inti melalui asam heteroligosakarida (3) Flagella protein, dikenal sebagai antigen H, mempunyai 2 bentuk fase 1 dan 2, fase 1 antigennya lebih spesifik untuk S. Thypi, flagella mengandung protein polimerase yang disebut flagellin yang merupakan bagian penting dalam respon immun, (4) Outer Membrane Protein (OMPs), proteinnya terdiri dari porin dan non porin.2
TRANSMISI DAN FAKTOR RISIKO
Demam typhoid ditularkan atau ditransmisikan kebanyakan melalui jalur fecal-oral. Penyebaran demam typhoid dari orang ke orang sering terjadi pada lingkungan yang tidak higienis dan pada lingkungan dengan jumlah penduduk yang padat, hal ini dikarenakan pola penyebaran kuman S.typhi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi biasanya melalui feses penderita. Sepeti yang sudah disebutkan, transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi salmonella thypi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila terpapar S. Thypi sebanyak 105, potensi serangan relatif ringan dengan masa inkubasi yang panjang. Dengan meningkatnya organisme atau > 109 potensi serangan meningkat menjadi 95% dengan masa inkubasi yang lebih singkat. Transmisi di negara berkembang terjadi secara water-borne dan food-borne.2
Demam typhoid bisa terjadi pada setiap orang, namun lebih banyak diderita oleh anak-anak dan orang muda. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Pada anak-anak hal ini dikarenakan antibodi yang belum terbentuk sempurna dan dari segi sosial, pola makanan anak-anak tidak baik yang didapat di lingkungan. Pada populasi orang muda, penyebaran demam typhoid dapat disebabkan oleh kebiasaan makan yang tidak mempertimbangkan faktor kebersihan dan tidak terbiasanya mencuci tangan sebelum makan.1
Faktor resiko lainnya adalah orang dengan status imunocompromised dan orang dengan produksi asam lambung yang terdepresi baik dibuat, misalnya pada pengguna antasida, H2 blocker, PPI, maupun didapat, misalnya orang dengan achlorhydia akibat proses penuaan.1
PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi (S.Parathypi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikum kuman yang terdapat pada makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendothelial tubuh terutama di hati dan limfa. Di organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.1
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.1
DIAGNOSIS
Diagnosis demam tifoid didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium.
Manifestasi Klinis
Menifestasi klinis demam tifoid sangat luas dan bervariasi, dari manifestasi yang atipikal hingga klasik, dari yang ringan hingga complicated. Penyakit ini memiliki kesamaan dengan penyakit demam yang lainnya terutama pada minggu pertama sehingga sulit dibedakan, maka untuk menegakkan diagnosa demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium penunjang.2
Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Masa inkubasinya umumnya 3-60 hari.2,3
Manifestasi klinis secara umum bekaitan dengan perjalanan infeksi kuman.1,2
1. Panas badan. Pada demam typhoid, pola panas badan yang khas adalah tipe step ladder pattern dimana peningkatan panas terjadi secara perlahan-lahan, terutama pada sore hingga malam hari. Biasanya pada saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan utama demam yang diderita kurang lebih 5-7 hari yang tidak berhasil diobati dengan antipiretika.
2. Lidah tifoid. Pada pemeriksaan fisik, lidah tifoid digambarkan sebagai lidah yang kotor pada pertengahan, sementara hiperemi pada tepinya, dan tremor apabila dijulurkan.
3. Bradikardi relatif. Pada penderita tifoid peningkatan denyut nadi tidak sesuai dengan peningkatan suhu, dimana seharusnya peningkatan 10C diikuti oleh peningkatan denyut nadi sebanyak 8 kali/menit. Bradikardi relatif adalah keadaan dimana peningkatan suhu 10C diikuti oleh peningkatan nadi 8 kali/menit.
4. Gejala saluran pencernaan (anoreksia, mual, muntah, obstipasi, diare, perasaan tidak enak di perut dan kembung, meteorismus).
5. Hepatosplenomegali.
6. Gejala infeksi akut lainnya ( nyeri kepala, pusing, nyeri otot, batuk, epistaksis).
7. Gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hematologi rutin didapatkan leukopeni atau leukopeni relatif, kadang – kadang dapat juga terjadi leukositosis, neutropeni, limfositosis, aneosinofilia, dengan atau tanpa penurunan hemoglobin (anemia) bergantung pada komplikasi yang melibatkan perdarahan saluran cerna, dengan hematokrit, trombosit dalam rentangan normal atau dapat terjadi trombositopenia. Laju endap darah juga dapat meningkat. Dari pemeriksaan kimia darah ditemukan peningkatan SGOT/SGPT.1,2
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan)1,2
Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam typhoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan typhoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi, yaitu darah <>1
Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas 3 :2
1. Possible Case
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case
Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali).
DIAGNOSIS BANDING
Pada tahap diagnosis klinis, beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis banding demam tifoid, diantaranya:2
Pneumonia
Gastroenteritis akut, hepatitis akut, demam dengue, demam berdarah dengue
Tuberkulosis, malaria, shigellosis
Leukimia, limfoma maligna
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan tifoid beserta cara mendiagnosisnya adalah sebagai berikut:2,3
Komplikasi Intestinal
Komplikasi pada gastrointestinal, perdarahan dan perforasi
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoshezia. Tetapi dapat juga melalui pemeriksaan lab feses (occult blood test). Komplikasi perforasi ini ditandai dengan gejala – gejala akut abdomen dan peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam rongga perut yang dibantu dengan pemeriksaan klinis bedah dan foto polos abdomen 3 posisi.
Komplikasi Ekstraintestinal
Hepatitis Tifosa
Adapun diagnosis klinis ditemukan kelainan ikterus, hepatomegali, dan kelainan test fungsi hati.
Pankreatitis Tifosa
Adalah diagnosa klinis di mana didapatkan petanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan amilase. Dapat dibantu dengan USG atau CT scan.
Kompliksasi pada Kardiovaskuler
Dapat ditemukan miokarditis, Trombophlebitis dan syok kardiogenik
Komplikasi Neuropsikiatrik
Dapat ditemukan ensefalopati, delirium, psikosis dan meningitis
Komplikasi pada paru
Dapat berupa bronkhitis, pneumonia
Komplikasi pada sistem Hematologi
Anemia hemolitik,
Komplikasi lain
Syok septik; penderita dengan sindrom demam tifoid, panas tinggi serta gejala toksemia berat. Didapatkan gejala gangguan hemodinamik seperti tensi turun, nadi halus dan cepat, berkeringat dan akral dingin.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
I. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
II. Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan.
b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi.
III. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein. Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek samping penggunaan klorampenikol adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.
III. KASUS
Seorang laki-laki, 29 tahun, Islam, suku Jawa datang ke rumah sakit dengan keluhan panas badan sejak + 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya panas dikatakan sumer-sumer kemudian memberat dari hari ke hari dan mencapai 40 derajat celcius. Penderita berusaha mengurangi keluhannya tersebut dengan obat penurun panas (yaitu cloramphenicol dan paracetamol) selama 6 hari yang didapatkannya dari dokter praktek umum, namun keluhan dikatakan tidak berkurang. Panas menggigil tidak ada, keringat di malam hari tidak ada. Saat pemeriksaan dilakukan keluhan panas masih dirasakan.
Penderita juga mengeluh mual tanpa disertai muntah kurang lebih 10 hari sebelum masuk rumah sakit dan bersifat hilang timbul. Keluhan mual menyebabkan nafsu makan penderita berkurang.
Penderita mengeluh lemas di seluruh tubuhnya sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Lemas dikatakan memberat apabila penderita beraktivitas, berkurang dengan istirahat. Penderita juga mengeluh nyeri kepala sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, membaik dengan beristirahat atau minum obat anti nyeri, memburuk apabila panasnya muncul.
Penderita mengeluh pegal-pegal di seluruh tubuhnya sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Penderita mengeluh batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk tidak disertai dahak dan tidak bercampur darah. Penderita mengeluh matanya kuning sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Kuning dikatakan muncul tiba-tiba, tanpa nyeri, tanpa penurunan tajam penglihatan.
Buang air besar dikatakan tidak ada keluhan, frekuensi buang air besar 1-2 kali/hari, berwarna kuning kecoklatan, konsistensi padat, tanpa lendir, tanpa darah. Buang air kecil juga tidak ada keluhan, frekuensi buang air kecil 4-5 kali/hari dengan volume 100-150 cc tiap BAK, tanpa nyeri, dan tanpa rasa kurang puas.
Keluhan gusi berdarah, mimisan, atau perdarahan spontan disangkal. Mata berkunang-kunang dan telinga berdenging disangkal. Bintik-bintik kemerahan di kulit tidak ada. Nyeri belakang bola mata tidak ada.
Riwayat menderita tifoid, demam berdarah, atau malaria pada penderita disangkal. Riwayat penyakit hepatitis dan keluhan lain di liver disangkal. Riwayat penyakit ginjal, diabetes, hipertensi, jantung, dan asma pada penderita disangkal.
Riwayat pengobatan yaitu cloramphenicol dan paracetamol selama 6 hari. Riwayat penggunaan obat untuk menekan sekresi asam lambung dalam jangka waktu lama disangkal.
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan demam, diare, batuk-batuk, lemas, dan bintik-bintik kemerahan. Riwayat penyakit hepatitis, ginjal, diabetes, hipertensi, jantung, dan asma pada keluarga disangkal.
Penderita merupakan seorang pegawai bank, bekerja dari pagi hingga sore hari dimana penderita biasa makan di luar yang higienitasnya belum terjamin. Penderita tidak mengkonsumsi alkohol atau jamu-jamuan tertentu, riwayat merokok tidak ada. Di lingkungan tempat tinggal maupun tempat kerja penderita tidak ada yang tifoid, demam berdarah, dan malaria.
Pada hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 9 April 2009 didapatkan penderita dengan kesadaran compos mentis (E4V5M6) dengan tekanan darah 110/70 mmHg. Nadi 84 kali per menit, teratur, isi cukup. Respirasi 20 kali per menit, teratur, tipe torakoabdominal. Temperatur aksila 38 derajat celcius. Tinggi badan 169 cm, berat badan 70 kilogram, IMT 24,5 kg/m2
Pada pemeriksaan fisik kepala didapatkan pada kedua mata terdapat ikterus namun tidak ditemukan anemi, pada telinga tidak ada kelainan, pada hidung tidak ada kelainan, pada faring tidak ditemukan pembesaran tonsil, pada lidah didapatkan tifoid tongue, tidak ada perdarahan gigi dan gusi.
Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan pembesaran kelenjar dan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP). Pada ketiak tidak ditemukan kelainan pada kelenjar.
Dari pemeriksaan thorak paru didapatkan inspeksi dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis. Pada palpasi didapatkan fremitus vokal normal kanan dan kiri, perkusi sonor pada kedua sisi paru, auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler tidak disertai dengan ronkhi dan wheezing pada kedua sisi paru. Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus cordis tidak tampak, palpasi iktus kordis teraba di ICS V MCL S, tidak kuat angkat, pada perkusi didapatkan batas atas pada ICS II, batas kanan parasternal line kanan, batas kiri pada mid klavikula line sinistra, auskultasi didapatkan S1S2 tunggal reguler, tidak ada murmur.
Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak ditemukan distensi, dan tidak tampak denyutan epigastrium, auskultasi bising usus normal, palpasi hepar teraba 2 cm di bawah arkus costae, padat, rata, tepi tajam, nyeri tekan ada. Palpasi lien tidak teraba. Defanse muskuler tidak ada. Pada perkusi perut didapatkan timpani, tidak ada asites.
Pada pemeriksaan fisik ektremitas, didapatkan hangat pada keempat ektremitas, tidak ditemukan adanya odema pada keempat ektremitas. Tidak didapatkan bintik-bintik kemerahan di keempat ekstemitas.
Pemeriksaan laboratorium tanggal 9 April 2009 menunjukkan hasil yaitu: Dari darah lengkap didapatkan : leukosit 5,5 x 10³/ul, neutrophil 2,7 x 10³/ul, limfosit 2,03 x 10³/ul, monosit 0,479 x 10³/ul, eosinofil 0,208 x 10³/ul, basofil 0,043 x 10³/ul, eritrosit 5,04 x 106/ul, hemoglobin 15 g/dl, hematokrit 42,5 %, MCV 84,3 fl, MCH 29,8 Pg, platelet 403 x 10³/ul. Dari kimia darah didapatkan AST 193 IU/L, ALT 293 IU/L, Total protein 8,6 g/dL, Albumin 4,7 g/dL, Total bilirubin 0,66 mg/dL, Bilirubin direk 0,1 mg/dL, Alkali fosfatase 90 IU/L. Pada tes imunologi didapatkan HbsAg non-reaktif. Tes widal didapatkan titer S. Typhi 1/320 (O dan H), S. Paratyphi A 1/320 (O), dan S. Paratyphi B 1/320 (O), S. Paratyphi C 1/320.
Penderita diagnosis menderita demam typhoid dan observasi transaminitis e.c. suspek hepatitis tifosa dd/viral hepatitis. Terapi yang diberikan yaitu: penderita dirawat inap, diit bebas rendah serat, IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, Levofloxacin 1 x 500 mg, Paracetamol 3 x 500 mg (k/p), Ranitidin 2 x 1 ampul. Penderita direncanakan untuk pemeriksaan gall culture, IgM HAV dan IgM-anti HAV.
Pembahasan :
Faktor risiko pada penderita ini adalah laki-laki, usia 29 th dengan riwayat sosial sering makan di luar rumah dengan higienitas yang belum terjamin. Hal ini sesuai dengan pustaka dimana insiden pada laki-laki dan perempuan sama, terjadi pada usia dewasa muda dengan penularan lebih banyak terjadi melalui fecal-oral oleh karena kebiasaan makan yang tidak mempertimbangkan faktor kebersihan dan tidak terbiasanya mencuci tangan sebelum makan.
Diagnosis demam tifoid didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium.
Manifestasi klinis dan fisik yang ditemukan pada penderita yaitu : panas dengan tipe step ladder, mual-mual, badan lemas, pegal-pegal, nyeri kepala, mata ikterus, lidah tifoid, dan hepatomegali dengan nyeri tekan pada hepar . Hal ini sesuai dengan pustaka mengenai gejala umum yang berkaitan dengan perjalanan infeksi kuman tifoid.
Pemeriksaan laboratorium penderita ini yang mendukung tegaknya diagnosis tifoid, yaitu: pada darah lengkap dalam batas normal, pada kimia darah ditemukan AST 193 IU/L, ALT 293 IU/L, pada tes widal ditemukan titer S. Typhi 1/320 (O dan H), S. Paratyphi A 1/320 (O), dan S. Paratyphi B 1/320 (O), S. Paratyphi C 1/320. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan dalam batas normal, AST/ALT sering kali meningkat dan akan normal kembali setelah sembuh. Pada tes widal dilakukan setelah panas hari 7, dinyatakan bermakna bila titer O > 1/320, atau titer O <>
Untuk terapi, pada pasien ini harus dirawat di rumah sakit karena mengeluh mual – mual dan mengalami penurunan nafsu makan, ditakutkan apabila tidak dirawat status nutrisi pasien akan menurun sehingga akan memperburuk kondisi umum pasien. Diet yang disarankan pada penderita adalah diet rendah serat, hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan tujuan diberikannya diet rendah serat adalah untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Namun karena pada pasien ini tidak ditemukan adanya meteorismus, maka tidak perlu diberikan bubur saring. Kemudian pada pasien juga diberikan IVFD Nacl 0,9 % dengan 20 tetes tiap menit. Sebagai antibiotik pada pasien ini dipilihkan dari golongan fluroquinolone yakni Levofloksasin dengan dosis 1 x 500 mg karena selain pasien sudah pernah mendapat terapi dengan klorampenikol namun tidak sembuh (setelah 14 hari mengkonsumsinya), fluroquinolone juga memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan obat golongan lainnya seperti; Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan. Paracetamol diberikan hanya bila perlu, dengan dosis 3 x 500 mg. Selain itu karena keluhan mual – muntah yang dialami pasien sejak 10 hari SMRS, pasien mendapat terapi ranitidine dengan dosis 2 x 1 ampul, dengan demikian diharapkan terjadi penurunan pembentukan asam lambung dan menurunkan keluhan mual penderita.
Untuk pasien ini direncanakan untuk melakukan pemeriksaan gall culture, IgM HAV dan IgM anti HAV. Pemeriksaan gall culture direncanakan karena sesuai dengan kepustakaan, untuk menegakkan diagnosis pasti demam thypoid perlu ditemukan agen penyebab demam thypoid yaitu S. Thypi dari hasil pemeriksaan kultur. Sementara IgM HAV dan IgM anti HAV diperiksa karena transaminitis yang terjadi pada penderita selain karena infeksi thypoid yang dialami, juga dapat terjadi akibat infeksi virus lainnya.

1 comment:

Unknown said...

gan minta sitasinya