Wednesday, October 07, 2009

LUPUS

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

1. Definisi dan Pendahuluan
Sistemik Lupus Eritematosus (Systemic Lupus Erythematous, SLE) adalah suatu penyakit autoimun multi-organ system dimana kerusakan sel jaringan terjadi karena kegagalan atau kehilangan kemampuan sistem imun tubuh untuk membedakan benda asing (antigen) dan jaringan / sel tubuh sendiri sehingga terjadinya zat anti terhadap inti sel dan autoantigen lainnya. Antibodi yang terlibat dikenal sebagai autoantibodi, yang akan bereaksi terhadap antigen sendiri dan akan membentuk sistem imun kompleks. Sistem imun kompleks ini akan terjadi di dalam jaringan tubuh dan akan mengakibatkan inflamasi terhadap jaringan dan sel.
Perjalanan penyakitnya sangat beragam, sulit diprediksi, dan manifestasinya tidak khas. Bisa ringan dengan gejala lemah dan fatigue, penurunan berat badan, artritis atau atralgia, miositis, demam, fotosensitif, bercak - bercak di kulit dan serositis. Dapat pula berat, bahkan mengancam nyawa berupa trombositopenia, anemia hemolisis, nefritis, cerebritis, vaskulitis, pneumonitis, dan miokarditis.
Walaupun lupus merupakan penyakit menahun, namun ada masanya dimana aktivitas penyakit minimal bahkan hilang sama sekali (remisi), dan adakalanya aktif (relaps atau flare).


2. Epidemiologi
Penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita usia subur (15-40 tahun). Ini membayangkan bahawa hormon yang terdapat pada wanita memainkan peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita masih dalam kajian.


3. Etiologi dan Patogenesis
SLE terjadi karena kerusakan tisu yang disebabkan oleh subset patogenik autoantibodi dan imun kompleks. Patogenesis SLE belum diketahui secara utuh namun demikian banyak fakta yang menunjukkan bahwa patogenesis LES bersifat multifaktorial, meliputi genetik yakni HLA DR2 ( ras Asia/Jepang ) dan HLA DR3 ( ras Kaukasia), neuroendokrin dan lingkungan yang berpengaruh pada respon imun. Penelitian terakhir menunjukkan banyak sekali gen ( lebih dari 100 yang berperan, terutama yang berfungsi mengkode unsur-unsur sistem imun dan apoptosis.

1. Faktor genetik
Berperan penting dalam kepekaan serta manifestasi klinis. Sebagaimana penyakit autoimun lainnya, lupus mempunyai sifat genetik tertentu. Saudara kembar identik penderita lupus mempunyai resiko terkena lupus sebesar 3-10 kali lipat dibanding kembar yang tidak identik. Demikian pula kerabat dekat (ibu, ayah, saudara kandung) lupus mempunyai resiko 8-9 kali lipat untuk terkena lupus berbanding masyarakat pada umumnya. Sekitar 10-20% pasien LES mempunyai keluarga dekat (first degree relative) yang juga menderita LES.

2. Faktor lingkungan
Saudara kembar identik lupus beresiko lebih tinggi, namun tidak semuanya akan mengalami lupus (30-50%). Hal ini menunjukkan adanya peran lingkungan dalam patogenesis lupus pada mereka yang mempunyai kepekaan genetik. Beberapa zat kimia seperti formaldehyde, debu silika, dan zat makanan dikenal pula dapat mencetuskan lupus. Paparan sinar matahari dan lampu fluoresens dapat memperberat bercak kulit yang telah ada, bahkan dapat mencetus flare up.

3. Lupus karena obat
Procainamide, hydralazine, isoniazide, antibiotic sulfa, agen biologik untuk terapi arthritis rheumatoid seperti etanercept, infliximab, dan adalimumab dapat mencetuskan lupus. Biasanya lupus karena obat akan membaik setelah obat yang bersangkutan dihentikan pemberiannya.

4. Pengaruh hormonal
Lupus mangalami perburukan gejala pada masa ovulasi (masa subur) dan membaik pada saat menstruasi. Estrogen diduga berperan namun mekanismenya belum diketahui secara pasti. Dengan demikian, sebaiknya tidak menggunakan metode KB yang mengandung estrogen. Pengaruh kehamilan pada aktivitas penyakit tidak menentu, ada yang meningkat namun ada pula yang menetap.

5. Stress fisik dan psikis dapat mencetuskan penyakit dan menimbulkan kekambuhan.

Gambaran Klinis

1. Gejala konstitusional : demam, malaise, anoreksia, penurunan berat badan.
2. Mukokutaneus : malar rash, discoid rash, rash bentuk lain, fotosensitifitas, ulkus nasal / oral (mulanya tidak nyeri), xerophtlamia dan xerostomia = sicca syndrome / Sjogren syndrome, alopesia (biasanya difusa)
3. Muskuloskeletal : artritis, fibromialgia, atralgia, miositis (diserta peningkatan CPK dan kelemahan otot proksimal), osteoporosis dan osteonekrosis (terutama lupus dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang)
4. Renal / urologi : glomerulonefritis (sesuai dengan staging WHO 0-IV), peradangan tubulointerstitial, sistitis lupus (pada pemberian cyclophosphamide dapat terjadi hemorhagik sistitis)
5. Hematologi : limfopenia (<1500/mm3), leukopenia (<4000/mm3), trombositopenia (<100000/mm3), anemia hemolisis (Coomb’s test positif), limfadenopati, splenomegali.
6. Neuropsikiatri : nyeri kepala ( refractory migrane like ), kejang-kejang, stroke atau TIA, neuropati perifer, neuropati kranial, mielitis transversal, depresi, gangguan kognitif.
7. Serosa : pleuritis eksudativa, perikarditis eksudativa namunjarang sampai menimbulkan gangguan hemodinamika, peritonitis (ditandai dengan nyeri difus pada abdomen)
8. Vaskular : Fenomena Raynaud’s, vaskulitis, vaskulopati, hipertensi, miokarditis, endokarditis, Libman-Sacks, tromboemboli events (terutama pada lupus dengan antikardiolipin atau antokoagulan lupus positif)
9. Imunologi : Antinuklear antibodi (ANA) dan antibodi lain positif, VDRL false positif, antibodi antikardiolipin, peningkatan kompleks imun dalam serum, konsumsi komplemen ( penurunan C3,C4 atau peningkatan kadar complement split products C4b, C5a, sC5b-9)
10. Lain-lain : Pulmo ( perdarahan paru, hipertensi pulmonal, pneumonitis interstitial ), okular (cytoid bodies), gastrointestinal ( lupoid hepatitis, pankreatitis )





PATOGENESIS
Tidak semestinya semua gejala-gejala ini berlaku di kalangan penderita Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) pada satu-satu masa. Oleh itu penampilan penyakit ini boleh berbeda antara satu pasien dengan yang lain tergantung kepada gabungan (kombinasi) organ dan gejala-gejala yang terlibat. Walaupun lupus dapat menyerang jaringan tubuh manapun, namun sebagian besar dari Odapus (Orang dengan Lupus) akan mengalami gejala tersebut di beberapa organ saja. Tabel di bawah ini menunjukkan daftar dari gejala yang umumnya diderita oleh Odapus serta persentase dari Odapus yang mengalami gejala tersebut.
§ Sakit pada sendi (arthralgia) : 95%
§ Demam hampir mencapai 38 derajat Celcius. 90%
§ Bengkak pada sendi (Arthritis) 90%
§ Lelah yang berkepanjangan 81%
§ Ruam pada kulit 74%
§ Anemia 71%
§ Ganguan ginjal 50%
§ Sakit di dada saat tarik nafas dalam (pleurisy) 45%
§ Ruam bentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42%
§ Sensitif pada matahari/sinar (photosensitivity) 30%
§ Rambut rontok 27%
§ Ganguan abnormal cloting darah 20%
§ Fenomena Raynaud’s (jari menjadi putih dan/atau biru saat dingin) 17%
§ Stroke 15%
§ Sariawan 12%

Organ yang terkena Lupus dan gangguannya.
Organ
Khas
Jarang
Kepala
Alopesia
Lupus diskoid
Keratokonjunktivitis sicca
Sicca syndrome
Episkleritis, skleritis, uveitis
Angioedema
Polychondritis
Retinitis
Optic neuritis

Kulit
Malar rash
Discoid rash
Maculopapular rash
Subakut kutaneous lupus
Kutaneus vaskulitis
Nailfold capillary changes
Levido reticularis
Bullous lupus
Kardiopulmonal
Pleurisy / efusi pleura
Pericarditis/ efusi perikardium
Interstitial pneumonitis
Hipertensi pulmonal
Miokarditis
Libman-Sacks endokarditis
Perdarahan paru
Coronary arteritis / aneurisma
Gastrointestinal
Esofageal dismotiliti
Hepatomegali
Splenomegali
Peningkatan enzim hati

Vaskulitis mesentrika (dengan atau tanpa infark)
Colitis
Protein-losing enteropathy
Sirrosis billiari primer
Bud-chiary syndrome
Asites
Neurologi
Gangguan kognitif
Kejang
Stroke (TIA)
Transverse myelitis
Mononeuritis multiplex
Neuropati perifer
Ensefalopati / koma
Kranial neuropati
Chorea
Pseudotumor cerebri
Konstitusional
Demam
Berat badan turun
Fatigue
Limfadenopati

Muskuloskeletal
Poliatralgia / artritis
Mialgia, miositis


Diagnosis
The 1982 Criteria for Classification of Systemic Lupus Erythematosus, updated 1997.
1. Malar rash
Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences
2. Discoid rash
Erythematous raised patches with adherent keratotic scaling and follicular plugging, atrophic scarring may occur.
3. Photosensitivity
Exposure to UV light causes rash
4. Oral ulcers
Includes oral and nasopharyngeal, observed by physicians
5. Arthritis
Non erosive arthritis involving two or more peripheral joints, characterized by tenderness, swelling or effusions
6. Serositis
Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub or evidence of pericardial effusion
7. Renal disorder
Proteinuria ≥ 500mg/day or +++ or cellular casts
8. Neurologic disorder
Seizures without other cause or psychosis without other cause
9. Hematologic disorder
Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/mm3) or lymphopenia (<1500/mm3) or thrombocytopenia (<100000/mm3) in the absence of offending drugs.
10. Immunologic disorder
Anti dsDNA / anti SM / false positive VDRL

11. Antinuclear antobodies
An abnormal titer of ANAs by immunofluoresence or an equivalent assay at any point in time in the absence of drugs known to induce ANAs.

Bila ditemukan minimal 4 dari 11 kriteria tersebut, diagnosis SLE dapat ditegakkan dengan spesifisitas 98% dan sensitivitas 97%.

Laboratorium
§ Antinuclear antibodi positif (98%) dengan pola homogen atau rim.
§ Anti DNA antibodi positif (double stranded or native) – spesifisitas sangat tinggi untuk LES. Ditemukan pada hampir seluruh pasien dengan keterlibatan ginjal (90%) dan pada yang dengan aktivitas penyakitnya berat meski tanpa keterlibatan ginjal (50%). Titernya menggambarkan aktivitas penyakit ; tidak ditemukan pada drug-induced LE.
§ Antibodi yang menyerang antigen inti sel (extractable nuclear antigens). Terdiri dari nuclear ribonuclear protein (nRNP) dan nuclear nonnucleic acid glycoprotein (Smith antigen –Sm). Anti Sm ini memiliki sensitifitas yang tinggi untuk pasien LES, ditemukan pada 25%-30% pasien LES.
§ LE sel positif (70-85%) spesifik untuk LES tetapi tidak sesensitif antinuclear antibodi, sel LE dapat ditemukan pada cairan sinovium, plural, dan perikardial.
§ Ditemukan circulating immune complexs – menggambarkan aktivitas penyakit.
§ Penurunan kadar komplemen serum (75%)- menggambarkan utilisasi oleh kompleks imun pada penyakit yang sedang aktif.
§ Peningkatan γ-globulins serum (80%) – menggambarkan peningkatan aktivitas sistem imun.
§ Rheumatoid faktor dapat positif (20-35%)
§ False-positif nontreponemal test untuk syphilis (15-20%)
§ Kadar serum kreatinin harus di periksa secara periodik pada penderita SLE.



Kelainan hematologi
§ Anemia normositik ringan (50-80%) – umumnya tipe penyakit kronis; kadang-kadang terjadi anemia hemolitik autoimmune dengan hasil Coomb’s test direk yang positif.
§ Leukopenia sedang (<4000/mm3) sebagai akibat dari mekanisme autoimun.
§ Limfositopenia (<1500/mm3) – akibat mekanisme autoimun, sering menggambarkan aktivitas penyakit.
§ Thrombocytopenia (<100000/mm3).
§ Peningkatan fibrin split products, sering ditemukan pada nefritis lupus.
§ Protein plasma
§ Penurunan kadar albumin
§ (50-60%) – menggambarkan penyakit kronis atau kehilangan albumin melalui urin pada sindroma nefrotik dari lupus nefritis. Peningkatan LED dan CRP – menggambarkan aktivitas penyakit

Urinalisis
Hematuri, sellular cast, dan proteinuria +++ (>500mg/dL) pada lupus nefritis.

Cairan sinovial
Leukopenia (<3000/mm3) ; dengan predominan limfosit, sel LE dan antinuclear antibodi positif.

Cairan spinal
Dapat ditemukan meningitis aseptik.

Biopsi ginjal dan kulit
Pemeriksaan dengan immunofluoresens memperlihatkan deposit immunoglobulin dan komplemen.

Gambaran Patologis
§ Ditemukan kompleks imun dan material fibrinoid pada jaringan tubuh, menyebabkan peradangan pada pembuluh darah, sinovium, dan membran serosa.
§ Dapat ditemukan berbagai macam autoantibodi; sel LE, ANA positif, anti ds-DNA, anti Ro dan peningkatan LED, anemia heolitik, leukopenia, trombositopenia dan lain-lain.

Gambaran Radiologis
§ Subluksasi, dislokasi, dan deviasi ulnar, osteoporosis, osteonekrosis ( hips, bahu, lutut, tangan dan kaki), atropi jaringan lunak dan pengapuran sendi.
§ Tangan : deviasi ulanr, boutonniere , swan neck deformities, osteoporosis, fraktur spontan.
§ Spine : instabilitas etlantoaxial, compression fractures
§ Thoraks : efusi pleura dan penebalan pleura, kardiomegali, efusi perikardial.

Derajat Berat Ringannya SLE
Ringan
Berat
1. Diagnosis SLE telah ditegakkan/sangat dicurigai
2. Secara klinis tenang
3. Tidak terdapat tanda atau gejal yg mengancam jiwa
4. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, GI, SSP, sendi, hematologi dan kulit
5. Tidak ditemukan tanda efek samping/ toksisitas pengobatan

· Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna
· Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahn paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstisial.
· GI: pankreatitis, vaskulitis mesenterika
· Ginjal: nefritis persisten, RPGN, sindroma nefrotik
· Kulit: vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
· Neurologi: kejang
· Otot : miositis
· Hematologi
· Konstitusional: demam tinggi yg persisten tanpa bukti infeksi



Skema Pengobatan Lupus
Penatalaksanaan Saat ini, belum ada penyembuhan untuk lupus dan penatalaksanaan lupus tidaklah mudah. Akan tetapi, diagnosa yang dini serta penanganan secara medis yang tepat akan dapat secara signifikan membantu untuk mengontrol penyakit ini. Pada umumnya penderita yang mengalami penyakit yang berat misalnya mengenai ginjal atau susunan saraf pusat, cenderung untuk persisten berat. Pasien yang penyakitnya ringan, biasanya akan tetap ringan, namun kalau kita lengah dapat berkembang menjadi berat. Gejala-gejala yang muncul sering kali berbeda antara Odapus yang satu dengan yang lainnya sehingga penangananya pun akan berdasarkan indikasi yang spesifik pada setiap Odapus.
Tujuan:
Meningkatkan survival dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna.
Tujuan khusus:
a. Mendapatkan masa remisi yang panjang
b. Menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin
c. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup keseharian tetap baik

Namun, terdapat beberapa panduan umum yang dapat di berikan disini:

Penilaian aktifitas penyakit
Penilaian aktifitas penyakit dilakukan secara klinis dan laboratoris. Kelelahan, demam, atau gangguan mood dapat merupakan tanda flare up, demikian pula manifestasi lainnya seperti rash atau artritis. Kalau secara klinis dicurigai penglibatan organ, harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan lab yang sesuai.
Pilar Pengobatan Lupus
1. Edukasi dan konseling
2. Latihan/program rehabilitasi
3. Pengobatan medikamentosa
1. Edukasi dan dukungan keluarga dan perhimpunan penderita Lupus.
Yayasan Lupus Indonesia (YLI): YLI memberikan edukasi dan dukungan kepada para Odapus & keluarga. Tersedia informasi mengenai kelompok support, buku & brosur Lupus, media komunikasi, dan artikel mengenai Lupus.
Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya
Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut
Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi
Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman dri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.
Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya
2. Latihan/program rehabilitasi dan terapi non farmakologis
§ Cukup istirahat, hindari kelelahan.
Mengatasi kelelahan: Lelah adalah masalah yang dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Kita harus belajar untuk menyelingi kegiatan kita dengan istirahat. Berdiam diri di tempat tidur dapat membuat kita lemah, tapi kegiatan yang berlebihan dapat membuat Lupus menjadi aktif kembali.
§ Menggunakan tabir surya SPF 30%, baju yang lebih tertutup, memakai topi atau payung jika bepergian atau berada di tempat terbuka.
§ Makan sehat dan seimbang: Tidak ada “diet lupus." Odapus harus makan makanan yang seimbang yang rendah lemak , gula & garam, tinggi serat. Yang sedang meminum kortikosteroid harus mengurangi gula, garam & lemak. Kalau diketahui ada jenis makanan tertentu yang membuat penderita merasa lemah atau mengakibatkan aktifnya Lupus, maka harus menjauhinya.
§ Hangati pada saat sakit: Lembab yang hangat lebih baik pada sendi yang sakit dari pada hangat yang kering. Berendam di tub, jacuzzi atau mandi dengan air hangat akan membantu sendi menjadi lebih baik. Penggunaan es atau kompres dingin adalah 36 jam dari saat sakit.
§ Olahraga: Berjalan, perenggangan, berenang, aerobik low impact & bersepeda dapat membantu penderita tetap kuat & mencegah penipisan tulang/osteoporosis. Ingat untuk diselingi dengan istirahat. Hati-hati untuk olahraga angkat beban atau olahraga high impact karena dapat membuat Lupus lebih parah. Kalau dirasakan letih sekali atau tidak enak lebih dari 2 jam setelah olahraga, maka sesi olahraga tersebut harus dikurangi menjadi lebih singkat.
§ Tidak merokok: Asap rokok mengandung bahan kimia, yang dapat mengakibatkan munculnya cutaneous lupus. Dapat mengakibatkan gejala penyakit Raynaud's memburuk karena akibat aliran darah, dan dapat mengakibatkan gangguan perut dari pengobatan pada Odapus yang menggunakan tembakau.

3. Terapi farmakologik
Odopus yang stabil (dalam remisi), harus kontrol teratur setiap 3 bulan meliputi pemeriksaan fisik, dan laboratorium (hematologi, kimia darah dan urinalisis). Odopus sebaiknya mendapatkan terapi preventif dengan vaksin influenza dan pneumonia setiap 5 tahun. Setiap pasien yang akan mendapat steroid harus diperiksa BMD DEXA sebelum dimulai terapi. Adanya resiko accelerated atherosclerosis, menghendaki agar dilakukan test skrining resiko kardiovaskuler dan diberikan penyuluhan mengenai modofikasi gaya hidup.
Odapus harus diingatkan agar menghindari pemakaian antibiotika sulfanamide, echinacea (obat flu alternatif yang berupa stimulan sistem imun), karena dapat menimbulkan flare up. Kontrasepsi oral dan terapi sulih estrogen kontraindikasi pada odopus yang mempunyai antiphospholipid antibodies.
Obat-obat yang dipakai pada lupus adalah seperti berikut:

i. Prednison / Prednisolon atau Metilprednisolon:
0.4mg/kgBB/hari untuk kasus sedang, 1-2mg/kgBB/hari untuk kasus yang berat lalu tappering off. Untuk kebanyakan kasus dosis induksi ini cukup 4-6 minggu, namun untuk yang mengenai ginjal, minimal induksi remisi tercapai setelah lebih dari 6 minggu. Pada life threatening lupus (trombositopenia, CNS lupus nefritis, serositis berat) biasanya diberikan Pulse therapy intravena dengan dosis 15-30mg/kgBB atau 500-1000mg/hari selama 3-5 hari.
ii. Methotrexate dan leflunaomide dengan dosis seperti pada artritis reumatoid diberikan pada kasus artritis erosif / sinovitis berat.
iii. Cyclophosphamide : Induksi 1-3mg/kgBB/hari. Untuk maintainence : 0.5 – 2mg/kgBB/hari. Pada nefritis lupus berat dan CNS lupus bisa diberikan pulse therapy dengan dosis 600-1000mg sebulan sekali bersamaan dengan pulse steroid therapy. Interval kemudian diperpanjang menjadi setiap 6 minggu sampai setiap 3 bulan.
iv. Chloroquin : 250mg/hari atau hydroxychloroquine 200-400mg/hari untuk odopus ’hanya’ mengalami gangguan kulit dan muskuloskeletal. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa chloroquine juga memperbaiki prognosis penderita nefritis lupus, dan dapat memperbaiki profil lipid yang terganggu akibat steroid.
v. Azathioprin : 1.5mg/kgBB diberikan untuk nefritis lupus dan aman pada penderita lupus yang hamil. Bisanya diberikan steoid sparing agen, untuk mengurangi pemakaian steroid dosis tinggi.
vi. Cyclosporine : 2-3mg/kgBB
vii. Mycophenolate : Mofetil 500-1500mg/hari atau mycophenolate sodium 360 – 1080mg/hari. Berfungsi sebagai induksi remisi atau maintainence (dengan dosis yang lebih kecil) setelah pulse therapy cyclophosphamide.
viii. Intravena gamma-globulin : 400mg/kgBB/hari bersamaan dengan pulse steroid pada kasus trombositopenia yang life threatening diberikan selama 5 hari, jika tidak berespons dapat dinaikkan sampai 1000mg/kg/hari.

Pengobatan SLE Ringan
a. Edukasi
Pasien diberikan harapan yg realistik sesuai keadaannya, hindari paparan UV berlebihan, hindari kelelahan, berikan pengetahuan akan gejala dan kekambuhan, anjurkan agar pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi teratur

b. Obat-obatan
- Penghilang nyeri sprt parasetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan
- OAINS sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan).
Glukokortikoid oral dosis maintenance
ES: infeksi (jamur, TB), osteoporosis
- Khlorokuin basa 4 mg/kg BB/hari dengan catatan periksa mata tiap tahun bila pemakaian lebih dari 6 bulan
- Kortikosteroid dosis rendah < 10 mg/hari prednison atau yang setara.
c. Tabir surya
Gunakan tabir surya topikal dengan minimum sun protection factor 15 (SPF 15)
d. Istirahat
Terutama bila pasien mulai merasakan gejala kekambuhan
Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan selain obat-obatan sama seperti pd SLE ringan. Obat-obatan yang diperlukan:
a. Glukokortikoid dosis tinggi
- Serosistis yang refrakter : 20 mg / hari prednison
- Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia : 40-60 mg/hari (1 mg/kgBB) prednison atau pemberian metilprednisolon IV sampai 1 g/hari selama 3 hari berturut-turut. Selanjutnya diberikan secara oral.
b. Obat imunosupresan atau sitotoksik
Yang biasa digunakan pada SLE: azatrioprin, siklofosfamid, metotreksat, khlorambusil, siklosporin, dan nitrogen mustard. Pilihan obat ini tergantung dari berat ringannya penyakit serta organ yg terlibat, misal:
Lupus nefritis: siklofosfamid (oral/IV), azatrioprin, atau mycophenolate mofetyl
Artritis berat : metotreksat (MTX)
Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara glukokortikoid dan imunosupresan/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.
Transplantasi ginjal pada penderita yang mengalami ESRD. Transplantasi stem sel dilakukan di institusi tertentu dan belum menjadi pengobatan baku.Hemodialisis dilakukan pada odopus yang mengalami ESRD. Plasmapheresis dilakukan bila dengan pengobatan medikamentosa yang adekwat tidak dicapai hasil yang memuaskan. Biasanya dilakukan pada kasus nefritis atau CNS lupus yang berat. Splenektomi pada kasus trombositopenia yang refrakter dengan obat-obat

Pemantauan Pengobatan
a. Anamnesis
Demam, penurunan BB, kelelahan, rambut rontok meningkat, nyeri dada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi
b. Fisik
Pembengkakan sendi, ruam, diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa, vaskulitis, fundus, edema
c. Penunjang:
Hematologi, analisis urin, serologi, radiologi dan kimia darah
Cat: pada pusat2 dengan fasilitas laboratorium maupun penunjang lain yg tersedia diperlukan pemeriksaan kadar komplemen C3 dan C4 maupun titer anti-ds-DNA
Tugas utama sebagai dokter umum di perifer/pusat pelayanan primer
1. Waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini diantara pasien yang dirawatnya dan melakukan rujukan diagnosis
2. Melakukan tata laksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan kondisinya stabil (pasien SLE tanpa keterlibatan organ vital dan atau terdapat morbiditas)
3. Mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik pada kasus SLE
4. Melakukan kerjasama dalam pengobatan dan pemantauan aktifitas penyakit pasien SLE derajat berat
DAMPAK SOSIAL SLE
— Depression
— Aktifitas fisik terganggu
— Hubungan sosial terganggu
— Hubungan seksual terganggu
— Problem kehamilan
— Pelayanan medis rutin
— Penolakan asuransi kesehatan
— Kepercayaan diri menurun
— Masalah pekerjaan
— Masa depan yang suram
PROGNOSIS
§ Masa hidup 10 tahun: 70%
§ Lebih rendah pada
ú Bukan ras kulit
ú Sosioekonomi rendah
ú Keterlibatan ginjal otak, paru, jantung yang parah.
ú Kebanyakan pasien meninggal karena infeksi dan gagal ginjal.
ú 80-90% orang tanpa gangguan organ yang mengancam jiwa dapat hidup normal jika mereka:
§ Tergantung kepada kepatuhan pasien terhadap instruksi dokter
§ Tergantung kepada kepatuhan membeli dan meminum obat-obatan yang diresepkan .
§ Tergantung kepada kecepatan dan ketepatan mencari pertolongan kesehatan jika diperlukan.






TINJAUAN PUSTAKA

Eugene Braunwald, Anthony S. Fauci, Dennis L. Kasper, Stephen Hauser, Dan L. Longo, J. Larry Jameson. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke 15. Mc.Graw Hill. New York, 2001 : 1922 - 1927

Rahmat Gunadi, Sumartini Dewi, Laniyati Hamijoyo, Riardi Pramudiyo. Diagnosis dan Terapi Penyakit Reumatik Cetakan ke 1. Sagung Seto. Jakarta, 2006 : 21 – 35

Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006 : 677 – 679.
http://www.lupusindonesia.org

http://www.fkui.org tiki-index.php lupus erythematosus

http://www.geocities.com/alam_penyakit/PenyakitSistemikLupusErythematosus.htm

INFEKSI SALURAN KEMIH

INFEKSI (NON SPESIFIK DAN SPESIFIK) SALURAN KEMIH
DAN GINJAL

1.1. DEFINISI INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)
Terdiri dari :

1. ISK Atas
a. Pielonefritis
b. Pielitis

2. ISK Bawah
a. Sistitis
b. Prostatitis dan epidedimis
c. Uretritis
d. Sindrom uretra

1.2. ETIOLOGI DAN PRESDISPOSISI

Setiap ISK pada laki-laki (walaupun pertama kali serangan) dan ISK berulang (rekuren) pada wanita biasanya menyertai faktor predisposisi.

1. Macam-macam faktor predisposisi
a. Obstruksi intrarenal dan saluran kemih akibat litiasis (laki & wanita)
b. Neuropati viseral pada diabetes (laki & wanita)
c. Prostat hipertrofi / keganasan (laki)
d. Hidroureter akibat progesteron (kehamilan dan kontrasepsi)
e. Polikistik (laki & wanita)
f. Refluk vesiko ureter (laki & wanita)
g. Instrumentasi selama sistoskopi dan kateterisasi (laki & wanita)

2. Implikasi klinis

a. Tipe ISK
- ISK tipe sederhana (uncomplicated)
- ISK tipe berkomplikasi (complicated)

b. Pola bacteriuria patogen
- Bacteriuria patogen aerobik
- Monobacteriuria
- Polibacteriuria
- Bacteriuria patogen anaerobik
- Bacteroides
- Streptokok aerobik
- Laktobasilus
- Klostridia
- Veillonella

3. Program pendekatan diagnosis

4. Program terapi rasional


MIKROORGANISME (MO)

Mikroorganisme paling sering menyebabkan ISK dan ginjal :

1. Bakteri gram negatif

FAMILI
GENUS
SPESIES
Enterobakteriaceae
Escherichia
Coli

Klepsiella
Pneumoniae


Oxytoca

Proteus
Mirabilis


Vulgaris

Enterobacter
Cloacae


Aerogenes

Providencia
Rettgeri


Stuartii

Morganella
Morganii

Cytobacter
Freundii


Diversus

Serratia
Marcescens
Pseudomonadaceae
Pseudomonas
Aeruginosa

2. Bateri gram positif

FAMILI
GENUS
SPESIES
Micrococcaceae
Staphylococcus
Aureus


Saprophyticus
Streptococceae
Streptococcus
Fecalis


(enterococcus)

2.1. PATOGENESIS

ISK sering disebabkan mikroorganisme saluran cerna (enterobacteriaceae) kembang biak di daerah introitus vaginae dan uretra anterior dan masuk kedalam kandung kemih selama miksi.
ISK tipe sederhana lebih sering pada wanita daripada laki-laki karena mempunyai hubungan dengan faktor presipitasi dengan faktor lokal.

1. Faktor Presipitasi :
a. uretra lebih pendek
b. Trauma pada daerah uretra anterior selama partus dan senggama
c. Kontaminasi transperineal dari rektum (anus)
d. Pengaruh progesteron selama kehamilan dan pemakaian kontrasepsi menyebabkan hidroureter dan hidropelvis

2. Faktor lokal :
a. Jumlah minum dan miksi
b. Mekanisme pertahanan epitel kandung kemih
c. Mekanisme humoral kandung kemih
d. Wanita tidak mempunyai cairan prostat yang bersifat bakteriostatik
e. Virulensi mikroorganisme
- mikroorganisme yang mempunyai anti gen k lebih virulen
- E.coli dengan P-fimbriae sangat patogen

ISK tipe sederhana jarang berakhir dengan penurunan faal ginjal kronis atau terminal

ISK be rkomplikasi (complicated)

Gagal Ginjal Kronis Faktor Predisposisi

Pielonefritis kronis Bakteriuria asimptomatik

ISK Atas (Pielonefritis) ISK Bawah (Sistitis)

Bakteriemia





2.2. INFEKSI BAKTERI DAN TBC

Tuberkolosis paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan klinis masa kini dan mendatang di Indonesia. Tuberkolosis saluran kemih merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis tuberkolosis desiminata, jarang dilaporkan mungkin prevalensinya sedikit atau lolos dari pendekatan diagnosis. Pendekatan diagnosis tuberkolosis saluran kemih dan ginjal harus terarah karena tergantung dari gambaran klinis. Gambaran klinis bervariasi : mungkin dengan keluhan ISK bawah (rekuren), hematuria tanpa sakit, hipertensi resisten atau dengan sindrom gagal ginjal kronis (GGK).

Infeksi bakterium tuberkulosis mencapai saluran kemih dan ginjal akibat penyebaran hematogen dari paru atau organ lain dari urogenital. Sumber primernya (misalnya paru) mungkin memperlihatkan infeksi aktif atau tidak memberikan keluhan maupun gejala termasuk kelainan radiologis.

2.3. PATOFISIOLOGI

DIAGNOSIS
Dalam upaya pendekatan diagnosis dua sasaran objektif yang harus di identifikasi yaitu manifestasi klinis dan bakteriuria patogen. Kedua sasaran objektif tersebut saling berkaitan, tidak terpisahkan.


KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi apabila :
§ ISK berulang
§ ISK kronis
§ ISK Pielonefritis kronis
§ Komplikasi pada penderita orang tuan dan atau diabetes timbul scepsis

3.1. DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis

1. Gambaran Klinis
Diagnosis ISK dengan gambaran klinis ISKB dan ISKA mudah ditegakkan berdasarkan inventarisasi data-data simtomatologi (tabel 1) walaupun harus disadari bahwa simtomatolgi terutama yang berhubungan dengan ISKB tidak patonomonis untuk infeksi saluran kemih.


Simtomatologi ISK (tabel 1)

Lokal :
q Disuria
q Polakisuria
q Urgensi
q Stranguria
q Tenesmus
q Nokturia
q Enuresis nokturnal
q Prostatismus
q Inkontinensia
q Nyeri uretra
q Nyeri kandung kemih
q Nyeri kolik
q Nyeri ginjal

Sistemik :
q Panas badan sampai menggigil
q Septikemia dan syok

Perubahan urinalisisis :
q Hematuria
q Piuria
q Chylusuria
q Pneumaturia


2. Perubahan warna urin
Perubahan warna urin mempunyai arti klinis tersendiri seperti hematuriam, piuria chyluria dan pneumonia.

3. Diagnosis faktor predisposisi
Setiap ISK rekuren (berulang) terutama pada pasien laki-laki maupun wanita setiap satu kali serangan harus dipertimbangkan kemungkinan ISK berkomplikasi.





3.2. LABORATORIUM

Pemeriksaan penunjang diagnostik :

1. Analisis urin rutin
Pemeriksaan analisis urin rutin merupakan uji saring yang dapat diandalkan bila koleksi urin benar dan masih segar, yang terdiri dari :
a. pH urin
b. Proteinuria
c. Pemeriksaan mikroskopik urin

2. Identifikasi bakteriuria patogen penyebab infeksi saluran kemih
a. Uji biokimia
b. Mikrobiologi

3. Prosedur pemeriksaan sumber infeksi
Indikasi prosedur pemeriksaan sumber infeksi :
a. Setiap ISK akut laki/wanita dengan tanda-tanda septikemia-bakteriema
b. Setiap episode ISK (satu kali episode) pada pasien laki-laki
c. Pasien wanita dengan infeksi berulang atau relap terutama disertai hipertensi dan penurunan faal ginjal GFR (kenaikan serum-serum dan kreatinin)
d. Kultur urin menampilkan bakteriuria patogen polimikroba

4.1. TERAPI

ISK bawah (sistitis akut)

Pengobatan umum dapat dilakukan dengan tindakan :
§ Alkalinisasi urine berikan natrium bikarbonat 16 – 20 gr perhari
§ Anti spasme, banyak obat anti spasme saluran pencernaan yang dapat diberikan untuk mengurangi iritasi kandung kemih

Pengobatan khusus dengan medikamentosa
§ Nitrofurantoin, ampisilin, penisilin G, asam nalidiksik, dan tetrasiklin merupakan obat antibiotik pilihan pertama untuk sistitis akut. Golongan sulfonamid cukup efektif tetapi tidak ekspansif.




ISK bawah (sistitis kronis)

§ Pengobatan umum (vide bab sistitis akut)

§ Pengobatan medikamentosa
Pemilihan antibiotok seharusnya sesuai dengan bakteriogram.
Nitrofurantoin dan sulfonamit dapat diberikan sebagai pengobatan permulaan sebelum diketahui hasil bakteriogram

ISK atas (pielonefritis akut)

§ Pengobatan umum
Sifatnya simptomatis untuk menghilangkan atau meredakan gejala infeksi saluran kemih bagian bawah atau atas. Misalnya analgetik, anti spasmodik, alkalinisasi urin dengan bikarbonat.

§ Pengobatan medikamentosa
Urine terutama urine pagi hari ditampung untuk analisa urine, pengecatan dengan gram, biakan dan resistensi terhadap obat-obatan standar.

ISK atas (pielonefritis kronis)

§ Pengobatan medikamentosa dengan antibiotik selama infeksi eksaserbasi akut, diberikan kemoterapi yang intensif. Pemilihan macam antibiotik tergantung dari bakteriogram. Antibiotik harus diberikan selama 2 – 3 minggu, kemudian diikuti terapi supresif selama beberapa bulan atau tahun

§ Pengobatan lokal dengan pembedahan
Eradikasi sumber infeksi kronis perlu dipertimbangkan seperti prostatektomi untuk prostatitis.

§ Pengobatan untuk penyulit
- Hipertensi
Hipertensi berat yang sulit dikendalikan dengan obat-obatan
- Gagal ginjal kronis


5.1. PENCEGAHAN

§ Pencegahan pada ISK bawah (sistitis akut) dianjurkan minum 1 gram sulfonamit atau 100 gram nitrofurantoin LANDES dkk
§ Pada ISK bawah (sistitis kronis) semua faktor predisposisi harus diberantas untuk mencegah infeksi menahun dan kalau perlu dilakukan pembedahan.
§ ISK atas (pielonefritis akut) setiap pasien yang menderita ISK yang sering kambuh harus dicurigai kemungkinan adanya faktor predisposisi refluk vesiko ureter.
§ ISK atas (pielonefritis kronis) pengaturan / regulasi pH urin sangat penting untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme tertentu maupun untuk efektifitas antibiotik

5.2. PROGNOSIS

§ ISK bawah akut (sistitis akut)
Prognosis pada ISK bawah akut dapat sembuh sempurna, kecuali bila terdapat faktor-faktor predisposisi yang lolos dari pengamatan

§ ISK bawah kronis (sistitis kronis)
Prognosis pada ISK bawah kronis baik bila diberikan
- antibiotik yang intensif dan tepat
- faktor predisposisi mudah dikenal dan diberantas

§ ISK atas akut (pielonefritis akut)
Prognosis pielonefritis baik bila memperlihatkan penyebuhan klinis maupun bakteriologis terhadap antibiotik

§ ISK atas kronis (pielonefritis kronis)
Bila diagnosis pielonefritis kronis terlambat dan kedua ginjal telah menyusut pengobatan konserfatif semata-mata untuk mempertahankan faal jaringan ginjal yang masih utuh

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DEMAM THYPHOID

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DEMAM TYPHOID
Oktober 2009
I. PENDAHULUAN
Demam typhoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi, atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella adalah kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan anaerob fakultatif yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi memiliki antigen H yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang terletak pada envelope, serta komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding sel.1
Di Indonesia demam typhoid merupakan penyakit endemik yang menular seperti yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah, dengan pola penularan yang bersifat sporadik. Dua sumber penularan demam tifoid adalah pasien dengan demam tifoid dan yang terbanyak adalah carrier dimana 109 sampai 1011 kuman per gram tinja dikeluarkan oleh mereka. Media penularan adalah air dan makanan yang tercemar oleh kuman S.typhi.1
Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.1
Diagnosis demam typhoid tidak selalu didapatkan setelah semua kriteria diagnosis terpenuhi, mengingat panjangnya perjalanan penyakit tersebut. Gejala klinis yang khas dapat menjadi dasar untuk pemberian terapi empirik sebelum pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan guna mencegah perburukan atau komplikasi lebih lanjut dari penyakit tersebut. Tidak jarang pula diagnosa demam typhoid ditegakkan secara eksjuvantibus.1
Diagnosis klinis terutama ditandai oleh adanya panas badan, gangguan saluran pencernaan, gangguan pola buang air besar, hepatomegali/spleenomegali, serta beberapa kelainan klinis yang lain. Diagnosis laboratoris kebanyakan di Indonesia memakai tes serologi Widal, tetapi sensitifitas dan spesifisitasnya sangat terbatas, belum ada kesepakatan titer dari masing – masing daerah. Biakan S. Typhi merupakan pemeriksaan baku emas, tetapi hasilnya seringkali negatif dan memerlukan waktu lama, padahal dokter harus segera memberi pengobatan. Beberapa serodiagnostik lain yang telah dikembangkan seperti TUBEX, merupakan pemeriksaan Immunoassay yang dapat mendeteksi anti-salmonella 09 dengan sensitivitas dan spesifisitas 100%.2
Tatalaksana demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Pemberian antimikroba diharapkan dapat menurunkan lama sakit dan kematian. Klorampenikol, ampisilin, amoksisilin dan kotrimoksasol merupakan obat konvensional yang di beberapa negara melaporkan kurang efektif sehubung dengan munculnya strain MDR. Flurokuinolon, sefalosporin dan seftriakson merupakan pilihan lini kedua. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.1,2
II. TINJAUAN KASUS
DEMAM TIFOID DAN PARATIFOID
Demam tifoid dan Paratifoid tipe A, B dan C disebabkan oleh Salmonella enterica serovoar typhi dan serovoar Paratyphi A, B dan C. Bakteri ini adalah bakteri gram negatif yang tidak berkapsul, mempunyai flagella sehingga selalu bergerak dengan menggunakan flagella peritrikosa. Ada 3 macam spesies utama salmonella (salmonella typhi, choleraesuis dan enteridis). Spesies Salmonella merupakan famili enterobacteriaceae yang menyebabkan penyakit enterik yang populer. Demam thypoid yang disebabkan S.Thypi sangat menarik perhatian terutama antigen yang terdapat pada permukaan kapsulnya. Terdapat empat komponen antigenik penting pada S. Thypi, (1) capsular Vi polysaccharide yang terletak pada lapisan luar, mengandung 2 kelompok determinan antigen yang memiliki potensi terjadinya reaksi antigen antiodi, merupakan antigen independen limfosit T dan respon immunnya dimediasi oleh sel B, (2) lipopolysaccharide (LPS), mengandung 2 determinan antigen, dikenal dengan endotoksin, merupakan rantai heteropolisakarida unit oligosakarida (O antigen) terjalin ke inti melalui asam heteroligosakarida (3) Flagella protein, dikenal sebagai antigen H, mempunyai 2 bentuk fase 1 dan 2, fase 1 antigennya lebih spesifik untuk S. Thypi, flagella mengandung protein polimerase yang disebut flagellin yang merupakan bagian penting dalam respon immun, (4) Outer Membrane Protein (OMPs), proteinnya terdiri dari porin dan non porin.2
TRANSMISI DAN FAKTOR RISIKO
Demam typhoid ditularkan atau ditransmisikan kebanyakan melalui jalur fecal-oral. Penyebaran demam typhoid dari orang ke orang sering terjadi pada lingkungan yang tidak higienis dan pada lingkungan dengan jumlah penduduk yang padat, hal ini dikarenakan pola penyebaran kuman S.typhi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi biasanya melalui feses penderita. Sepeti yang sudah disebutkan, transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi salmonella thypi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila terpapar S. Thypi sebanyak 105, potensi serangan relatif ringan dengan masa inkubasi yang panjang. Dengan meningkatnya organisme atau > 109 potensi serangan meningkat menjadi 95% dengan masa inkubasi yang lebih singkat. Transmisi di negara berkembang terjadi secara water-borne dan food-borne.2
Demam typhoid bisa terjadi pada setiap orang, namun lebih banyak diderita oleh anak-anak dan orang muda. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Pada anak-anak hal ini dikarenakan antibodi yang belum terbentuk sempurna dan dari segi sosial, pola makanan anak-anak tidak baik yang didapat di lingkungan. Pada populasi orang muda, penyebaran demam typhoid dapat disebabkan oleh kebiasaan makan yang tidak mempertimbangkan faktor kebersihan dan tidak terbiasanya mencuci tangan sebelum makan.1
Faktor resiko lainnya adalah orang dengan status imunocompromised dan orang dengan produksi asam lambung yang terdepresi baik dibuat, misalnya pada pengguna antasida, H2 blocker, PPI, maupun didapat, misalnya orang dengan achlorhydia akibat proses penuaan.1
PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi (S.Parathypi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikum kuman yang terdapat pada makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendothelial tubuh terutama di hati dan limfa. Di organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.1
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.1
DIAGNOSIS
Diagnosis demam tifoid didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium.
Manifestasi Klinis
Menifestasi klinis demam tifoid sangat luas dan bervariasi, dari manifestasi yang atipikal hingga klasik, dari yang ringan hingga complicated. Penyakit ini memiliki kesamaan dengan penyakit demam yang lainnya terutama pada minggu pertama sehingga sulit dibedakan, maka untuk menegakkan diagnosa demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium penunjang.2
Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Masa inkubasinya umumnya 3-60 hari.2,3
Manifestasi klinis secara umum bekaitan dengan perjalanan infeksi kuman.1,2
1. Panas badan. Pada demam typhoid, pola panas badan yang khas adalah tipe step ladder pattern dimana peningkatan panas terjadi secara perlahan-lahan, terutama pada sore hingga malam hari. Biasanya pada saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan utama demam yang diderita kurang lebih 5-7 hari yang tidak berhasil diobati dengan antipiretika.
2. Lidah tifoid. Pada pemeriksaan fisik, lidah tifoid digambarkan sebagai lidah yang kotor pada pertengahan, sementara hiperemi pada tepinya, dan tremor apabila dijulurkan.
3. Bradikardi relatif. Pada penderita tifoid peningkatan denyut nadi tidak sesuai dengan peningkatan suhu, dimana seharusnya peningkatan 10C diikuti oleh peningkatan denyut nadi sebanyak 8 kali/menit. Bradikardi relatif adalah keadaan dimana peningkatan suhu 10C diikuti oleh peningkatan nadi 8 kali/menit.
4. Gejala saluran pencernaan (anoreksia, mual, muntah, obstipasi, diare, perasaan tidak enak di perut dan kembung, meteorismus).
5. Hepatosplenomegali.
6. Gejala infeksi akut lainnya ( nyeri kepala, pusing, nyeri otot, batuk, epistaksis).
7. Gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hematologi rutin didapatkan leukopeni atau leukopeni relatif, kadang – kadang dapat juga terjadi leukositosis, neutropeni, limfositosis, aneosinofilia, dengan atau tanpa penurunan hemoglobin (anemia) bergantung pada komplikasi yang melibatkan perdarahan saluran cerna, dengan hematokrit, trombosit dalam rentangan normal atau dapat terjadi trombositopenia. Laju endap darah juga dapat meningkat. Dari pemeriksaan kimia darah ditemukan peningkatan SGOT/SGPT.1,2
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan)1,2
Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam typhoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan typhoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi, yaitu darah <>1
Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas 3 :2
1. Possible Case
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case
Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali).
DIAGNOSIS BANDING
Pada tahap diagnosis klinis, beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis banding demam tifoid, diantaranya:2
Pneumonia
Gastroenteritis akut, hepatitis akut, demam dengue, demam berdarah dengue
Tuberkulosis, malaria, shigellosis
Leukimia, limfoma maligna
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan tifoid beserta cara mendiagnosisnya adalah sebagai berikut:2,3
Komplikasi Intestinal
Komplikasi pada gastrointestinal, perdarahan dan perforasi
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoshezia. Tetapi dapat juga melalui pemeriksaan lab feses (occult blood test). Komplikasi perforasi ini ditandai dengan gejala – gejala akut abdomen dan peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam rongga perut yang dibantu dengan pemeriksaan klinis bedah dan foto polos abdomen 3 posisi.
Komplikasi Ekstraintestinal
Hepatitis Tifosa
Adapun diagnosis klinis ditemukan kelainan ikterus, hepatomegali, dan kelainan test fungsi hati.
Pankreatitis Tifosa
Adalah diagnosa klinis di mana didapatkan petanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan amilase. Dapat dibantu dengan USG atau CT scan.
Kompliksasi pada Kardiovaskuler
Dapat ditemukan miokarditis, Trombophlebitis dan syok kardiogenik
Komplikasi Neuropsikiatrik
Dapat ditemukan ensefalopati, delirium, psikosis dan meningitis
Komplikasi pada paru
Dapat berupa bronkhitis, pneumonia
Komplikasi pada sistem Hematologi
Anemia hemolitik,
Komplikasi lain
Syok septik; penderita dengan sindrom demam tifoid, panas tinggi serta gejala toksemia berat. Didapatkan gejala gangguan hemodinamik seperti tensi turun, nadi halus dan cepat, berkeringat dan akral dingin.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
I. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
II. Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan.
b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi.
III. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein. Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek samping penggunaan klorampenikol adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.
III. KASUS
Seorang laki-laki, 29 tahun, Islam, suku Jawa datang ke rumah sakit dengan keluhan panas badan sejak + 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya panas dikatakan sumer-sumer kemudian memberat dari hari ke hari dan mencapai 40 derajat celcius. Penderita berusaha mengurangi keluhannya tersebut dengan obat penurun panas (yaitu cloramphenicol dan paracetamol) selama 6 hari yang didapatkannya dari dokter praktek umum, namun keluhan dikatakan tidak berkurang. Panas menggigil tidak ada, keringat di malam hari tidak ada. Saat pemeriksaan dilakukan keluhan panas masih dirasakan.
Penderita juga mengeluh mual tanpa disertai muntah kurang lebih 10 hari sebelum masuk rumah sakit dan bersifat hilang timbul. Keluhan mual menyebabkan nafsu makan penderita berkurang.
Penderita mengeluh lemas di seluruh tubuhnya sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Lemas dikatakan memberat apabila penderita beraktivitas, berkurang dengan istirahat. Penderita juga mengeluh nyeri kepala sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, membaik dengan beristirahat atau minum obat anti nyeri, memburuk apabila panasnya muncul.
Penderita mengeluh pegal-pegal di seluruh tubuhnya sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Penderita mengeluh batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk tidak disertai dahak dan tidak bercampur darah. Penderita mengeluh matanya kuning sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Kuning dikatakan muncul tiba-tiba, tanpa nyeri, tanpa penurunan tajam penglihatan.
Buang air besar dikatakan tidak ada keluhan, frekuensi buang air besar 1-2 kali/hari, berwarna kuning kecoklatan, konsistensi padat, tanpa lendir, tanpa darah. Buang air kecil juga tidak ada keluhan, frekuensi buang air kecil 4-5 kali/hari dengan volume 100-150 cc tiap BAK, tanpa nyeri, dan tanpa rasa kurang puas.
Keluhan gusi berdarah, mimisan, atau perdarahan spontan disangkal. Mata berkunang-kunang dan telinga berdenging disangkal. Bintik-bintik kemerahan di kulit tidak ada. Nyeri belakang bola mata tidak ada.
Riwayat menderita tifoid, demam berdarah, atau malaria pada penderita disangkal. Riwayat penyakit hepatitis dan keluhan lain di liver disangkal. Riwayat penyakit ginjal, diabetes, hipertensi, jantung, dan asma pada penderita disangkal.
Riwayat pengobatan yaitu cloramphenicol dan paracetamol selama 6 hari. Riwayat penggunaan obat untuk menekan sekresi asam lambung dalam jangka waktu lama disangkal.
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan demam, diare, batuk-batuk, lemas, dan bintik-bintik kemerahan. Riwayat penyakit hepatitis, ginjal, diabetes, hipertensi, jantung, dan asma pada keluarga disangkal.
Penderita merupakan seorang pegawai bank, bekerja dari pagi hingga sore hari dimana penderita biasa makan di luar yang higienitasnya belum terjamin. Penderita tidak mengkonsumsi alkohol atau jamu-jamuan tertentu, riwayat merokok tidak ada. Di lingkungan tempat tinggal maupun tempat kerja penderita tidak ada yang tifoid, demam berdarah, dan malaria.
Pada hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 9 April 2009 didapatkan penderita dengan kesadaran compos mentis (E4V5M6) dengan tekanan darah 110/70 mmHg. Nadi 84 kali per menit, teratur, isi cukup. Respirasi 20 kali per menit, teratur, tipe torakoabdominal. Temperatur aksila 38 derajat celcius. Tinggi badan 169 cm, berat badan 70 kilogram, IMT 24,5 kg/m2
Pada pemeriksaan fisik kepala didapatkan pada kedua mata terdapat ikterus namun tidak ditemukan anemi, pada telinga tidak ada kelainan, pada hidung tidak ada kelainan, pada faring tidak ditemukan pembesaran tonsil, pada lidah didapatkan tifoid tongue, tidak ada perdarahan gigi dan gusi.
Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan pembesaran kelenjar dan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP). Pada ketiak tidak ditemukan kelainan pada kelenjar.
Dari pemeriksaan thorak paru didapatkan inspeksi dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis. Pada palpasi didapatkan fremitus vokal normal kanan dan kiri, perkusi sonor pada kedua sisi paru, auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler tidak disertai dengan ronkhi dan wheezing pada kedua sisi paru. Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus cordis tidak tampak, palpasi iktus kordis teraba di ICS V MCL S, tidak kuat angkat, pada perkusi didapatkan batas atas pada ICS II, batas kanan parasternal line kanan, batas kiri pada mid klavikula line sinistra, auskultasi didapatkan S1S2 tunggal reguler, tidak ada murmur.
Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak ditemukan distensi, dan tidak tampak denyutan epigastrium, auskultasi bising usus normal, palpasi hepar teraba 2 cm di bawah arkus costae, padat, rata, tepi tajam, nyeri tekan ada. Palpasi lien tidak teraba. Defanse muskuler tidak ada. Pada perkusi perut didapatkan timpani, tidak ada asites.
Pada pemeriksaan fisik ektremitas, didapatkan hangat pada keempat ektremitas, tidak ditemukan adanya odema pada keempat ektremitas. Tidak didapatkan bintik-bintik kemerahan di keempat ekstemitas.
Pemeriksaan laboratorium tanggal 9 April 2009 menunjukkan hasil yaitu: Dari darah lengkap didapatkan : leukosit 5,5 x 10³/ul, neutrophil 2,7 x 10³/ul, limfosit 2,03 x 10³/ul, monosit 0,479 x 10³/ul, eosinofil 0,208 x 10³/ul, basofil 0,043 x 10³/ul, eritrosit 5,04 x 106/ul, hemoglobin 15 g/dl, hematokrit 42,5 %, MCV 84,3 fl, MCH 29,8 Pg, platelet 403 x 10³/ul. Dari kimia darah didapatkan AST 193 IU/L, ALT 293 IU/L, Total protein 8,6 g/dL, Albumin 4,7 g/dL, Total bilirubin 0,66 mg/dL, Bilirubin direk 0,1 mg/dL, Alkali fosfatase 90 IU/L. Pada tes imunologi didapatkan HbsAg non-reaktif. Tes widal didapatkan titer S. Typhi 1/320 (O dan H), S. Paratyphi A 1/320 (O), dan S. Paratyphi B 1/320 (O), S. Paratyphi C 1/320.
Penderita diagnosis menderita demam typhoid dan observasi transaminitis e.c. suspek hepatitis tifosa dd/viral hepatitis. Terapi yang diberikan yaitu: penderita dirawat inap, diit bebas rendah serat, IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, Levofloxacin 1 x 500 mg, Paracetamol 3 x 500 mg (k/p), Ranitidin 2 x 1 ampul. Penderita direncanakan untuk pemeriksaan gall culture, IgM HAV dan IgM-anti HAV.
Pembahasan :
Faktor risiko pada penderita ini adalah laki-laki, usia 29 th dengan riwayat sosial sering makan di luar rumah dengan higienitas yang belum terjamin. Hal ini sesuai dengan pustaka dimana insiden pada laki-laki dan perempuan sama, terjadi pada usia dewasa muda dengan penularan lebih banyak terjadi melalui fecal-oral oleh karena kebiasaan makan yang tidak mempertimbangkan faktor kebersihan dan tidak terbiasanya mencuci tangan sebelum makan.
Diagnosis demam tifoid didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium.
Manifestasi klinis dan fisik yang ditemukan pada penderita yaitu : panas dengan tipe step ladder, mual-mual, badan lemas, pegal-pegal, nyeri kepala, mata ikterus, lidah tifoid, dan hepatomegali dengan nyeri tekan pada hepar . Hal ini sesuai dengan pustaka mengenai gejala umum yang berkaitan dengan perjalanan infeksi kuman tifoid.
Pemeriksaan laboratorium penderita ini yang mendukung tegaknya diagnosis tifoid, yaitu: pada darah lengkap dalam batas normal, pada kimia darah ditemukan AST 193 IU/L, ALT 293 IU/L, pada tes widal ditemukan titer S. Typhi 1/320 (O dan H), S. Paratyphi A 1/320 (O), dan S. Paratyphi B 1/320 (O), S. Paratyphi C 1/320. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan dalam batas normal, AST/ALT sering kali meningkat dan akan normal kembali setelah sembuh. Pada tes widal dilakukan setelah panas hari 7, dinyatakan bermakna bila titer O > 1/320, atau titer O <>
Untuk terapi, pada pasien ini harus dirawat di rumah sakit karena mengeluh mual – mual dan mengalami penurunan nafsu makan, ditakutkan apabila tidak dirawat status nutrisi pasien akan menurun sehingga akan memperburuk kondisi umum pasien. Diet yang disarankan pada penderita adalah diet rendah serat, hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan tujuan diberikannya diet rendah serat adalah untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Namun karena pada pasien ini tidak ditemukan adanya meteorismus, maka tidak perlu diberikan bubur saring. Kemudian pada pasien juga diberikan IVFD Nacl 0,9 % dengan 20 tetes tiap menit. Sebagai antibiotik pada pasien ini dipilihkan dari golongan fluroquinolone yakni Levofloksasin dengan dosis 1 x 500 mg karena selain pasien sudah pernah mendapat terapi dengan klorampenikol namun tidak sembuh (setelah 14 hari mengkonsumsinya), fluroquinolone juga memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan obat golongan lainnya seperti; Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan. Paracetamol diberikan hanya bila perlu, dengan dosis 3 x 500 mg. Selain itu karena keluhan mual – muntah yang dialami pasien sejak 10 hari SMRS, pasien mendapat terapi ranitidine dengan dosis 2 x 1 ampul, dengan demikian diharapkan terjadi penurunan pembentukan asam lambung dan menurunkan keluhan mual penderita.
Untuk pasien ini direncanakan untuk melakukan pemeriksaan gall culture, IgM HAV dan IgM anti HAV. Pemeriksaan gall culture direncanakan karena sesuai dengan kepustakaan, untuk menegakkan diagnosis pasti demam thypoid perlu ditemukan agen penyebab demam thypoid yaitu S. Thypi dari hasil pemeriksaan kultur. Sementara IgM HAV dan IgM anti HAV diperiksa karena transaminitis yang terjadi pada penderita selain karena infeksi thypoid yang dialami, juga dapat terjadi akibat infeksi virus lainnya.