Wednesday, March 03, 2010

Kejadian Ikutan Paska Imunisasi


Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Definisi KIPI
Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsure vaksin dengan latar belakang genetic. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsure lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).

Etiologi
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:
1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
3. derajat sakit resipien
4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur
KN PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
• Dosis antigen (terlalu banyak)
• Lokasi dan cara menyuntik
• Sterilisasi semprit dan jarum suntik
• Jarum bekas pakai
• Tindakan aseptik dan antiseptik
• Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
• Penyimpanan vaksin
• Pemakaian sisa vaksin
• Jenis dan jumlah pelarut vaksin
• Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

Gejala Klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
Reaksi KIPI Gejala KIPI
Lokal Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis, BCG-itis
SSP Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Kejang
Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi >38,5°C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus (3jam)
Sindrom syok septik
Dikutip dari RT Chen, 1999
Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.
Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI
Toksoid Tetanus (DPT, DT, TT) Syok anafilaksis
Neuritis brakhial
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
2-18 hari
tidak tercatat
Pertusis whole cell (DPwT) Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
72 jam
tidak tercatat
Campak Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
5-15 hari
tidak tercatat

Trombositopenia
Klinis campak pada resipien imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 7-30 hari
6 bulan


tidak tercatat
Polio hidup (OPV) Polio paralisis
Polio paralisis pada resipien imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 30 hari
6 bulan
Hepatitis B Syok anafilaksis
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
tidak tercatat
BCG BCG-itis 4-6 minggu
Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999

Angka Kejadian KIPI
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.

Imunisasi Pada Kelompok Resiko
Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok resiko adalah:
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu
Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP KIPI dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan segera
2. Bayi berat lahir rendah
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:
a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar pada bayi cukup bulab
b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan; imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila ibu mengandung HbsAg
c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja
3. Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.
4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi
Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu sehat kecuali untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta perhatian khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh setiap pelaksana vaksinasi. (cfs/pedoman tata laksana medik KIPI bagi petugas kesehatan)

Tatalaksana Kekurangan Energi Protein

DEFINISI
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).
KLASIFIKASI
 KEP ringan
Bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80% baku median WHO-NCHS dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-90% baku median WHO-NCHS
 KEP sedang
Bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB 70-80% baku median WHO-NCHS
 KEP berat
Bila BB/U < 60% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB < 70% baku median WHO-NCHS
KEP berat terdiri dari Marasmus, Kwashiorkor, Marasmic-kwashiorkor

Pasien dengan KEP tidak kompleks seharusnya diobati di luar rumah sakit sejauh memungkinkan. Perawatan rumah sakit meningkatkan resiko infeksi silang dan situasi yang tidak umum, meningkatkan apatis dan anoreksia pada anak-anak, sehingga makannya akan sulit. Anak-anak dengan malnutrisi berat dengan tanda dari prognosis buruk atau komplikasi lain dan tinggal di lingkungan sosial menyedihkan yang tidak mempunyai sarana medis dan nutrisional cukup, harus dirawat.
KEP I (KEP ringan)
- Penyuluhan gizi/nasehat pemberian makanan di rumah (bilamana penderita rawat jalan)
- Dianjurkan memberikan ASI eksklusif (bayi < 4 bl) dan terus memberikan ASI sampai 2 th
- Bila dirawat inap untuk penyakit lain  makanan sesuai dengan penyakitnya agar tidak jatuh menjadi KEP sedang/berat dan untuk meningkatkan status gizi.

KEP II (KEP sedang)
- Rawat jalan : Nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan ASI, selalu dipantau kenaikan BB.
- Tidak rawat jalan : Dapat dirujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah gizi
- Rawat inap : Makanan tinggi energi dan protein dengan kebutuhan energi 20-50% di atas AKG. Diet sesuai dengan penyakitnya dan dipantau berat badannya setiap hari, beri vitamin dan penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh dari penyakitnya, tapi masih menderita KEP ringan atau sedang rujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah gizinya.

KEP II (KEP sedang)

Strategi pengobatan dibagi ke dalam 3 tingkat (Penny, 2004; WHO, 1999):
a) Fase inisial atau akut (2-10 hari), pada fase ini diusahakan mengatasi komplikasi berupa dehidrasi, hipoglikemia dan infeksi, bersamaan dengan dimulainya terapi nutrisi.
b) Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu). Pada fase ini, terjadi peningkatan jumlah masukan nutrisi dan terjadi peningkatan berat badan. Selain itu stimulasi emosi dan fisik ditingkatkan, sedangkan ibu atau pengasuh dilatih untuk melanjutkan pengasuhan di rumah hingga persiapan anak dipulangkan.
c) Fase tindak lanjut (6-26 minggu). Fase ini anak telah dipulangkan. Anak dan keluarga dipantau untuk mencegah adanya kekambuhan serta menilai adanya perkembangan fisik, mental dan emosi anak.

3.1 TATA LAKSANA RAWAT INAP KEP BERAT/GIZI BURUK
Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di rumah sakit terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu diperhatikan :
A. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah utama).
B. Pengobatan penyakit penyerta.
C. Kegagalan pengobatan.
D. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas.
E. Tindakan pada kegawatan.


3.1.1 PRINSIP DASAR PENGOBATAN RUTIN KEP BERAT/GIZI BURUK
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah penting yaitu :
1. Mengatasi/mencegah hipoglikemia
2. Mengatasi/mencegah hipotermia
3. Mengatasi/mencegah dehidrasi
4. Mengkoreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Mengobati/mencegah infeksi
6. Mulai pemberian makanan
7. Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)
8. Mengkoreksi defisiensi nutrien mikro
9. Melakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10. Menyiapkan dan merencanakan tindak lanjut setelah sembuh.
Dalam proses pengobatan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu fase inisial (berupa fase stabilisasi dan fase transisi), fase rehabilitasi dan fase tindak lanjut. Petugas kesehatan harus terampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tata laksana ini digunakan pada semua penderita KEP berat/Gizi buruk (kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwashiorkor).

Tabel 3.1 Jadwal Pengobatan KEP berat












3.1.1.1 Fase Inisial
3.1.1.1.1 Langkah ke-1 : Pengobatan /Pencegahan Hipoglikemia
Semua anak dengan malnutrisi berat berisiko mengalami hipoglikemia (kadar gula darah <54mg/dl atau 3 mmol/l) yang merupakan faktor penting penyebab kematian dalam 2 hari pertama perawatan. Hipoglikemia dapat disebabkan infeksi sistemik berat atau dapat terjadi pada anak malnutrisi berat yang tidak diberi makan selama 4-6 jam (WHO,1999). Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, sebagai tanda adanya infeksi. Pemberian makanan yang sering yaitu paling kurang tiap 2-3 jam siang maupun malam penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut (WHO,1999). Tanda hipoglikemia termasuk hipotermia (<36.5 °C), letargi, penurunan kesadaran.
Apabila telah dicurigai adanya hipoglikemia, pengobatan harus segera diberikan secepatnya tanpa menunggu konfirmasi hasil laboratorium. Bila pasien masih sadar dan dapat minum, segera berikan 50 ml glukosa atau sukrosa 10%, atau berikan F-75 melalui mulut. Bila memungkinkan, berikan larutan tersebut setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam). Namun bila tidak bisa, berikan sekaligus semuanya. Pasien harus diperhatikan dengan ketat hingga pasien benar-benar sadar. Terapi dilanjutkan diberikan tiap 2-3 jam baik siang maupun malam (WHO,1999).
Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, tidak bisa dibangunkan atau mengalami kejang, berikan 5ml/kgbb glukosa 10% steril melalui intravena, kemudian diikuti dengan 50 ml glukosa atau sukrosa 10% (1 sdt dalam 3½ sdm air) melalui NGT. Bila glukosa IV tidak bisa diberikan segera, berikan dulu lewat NGT. Bila pasien mulai sadar, segera mulai terapi dengan diet F-75 atau larutan glukosa (60g/l). Setiap anak dengan dugaan hipoglikemia harus diterapi juga dengan antibiotik spektrum luas (WHO,1999).
Pemantauan
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah dari ujung jari atau tumit setelah 30 menit. Sekali diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit. Bila gula darah turun lagi sampai < 50 mg/dL, ulangi pemberian 50 mL (bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian setiap 30 menit sampai stabil. Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila < 36 C dan atau kesadaran menurun.
Gambar 3.1 Tempat yang baik untuk penusukan pemeriksaan darah bagi bayi (WHO,1999)




Pencegahan
Mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah dehidrasi yang ada dikoreksi. Selalu memberikan makanan sepanjang malam.
Catatan
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP berat menderita hipoglikemia dan atasi segera.

3.1.1.1.2 Langkah ke-2 : Pengobatan/Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak < 360C
Periksalah suhu rektal dengan menggunakan termometer suhu rendah. Bila tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita hipotermi.
Bila suhu dubur < 360C
o Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu)
o Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala. Letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan menggunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu dan selimuti.
o Berikan antibiotik (langkah 5)
Pemantauan
Periksa suhu dubur setiap 2 jam smapai suhu mencapai > 36,5 C, bila memakai pemanas ukur setiap 30 menit. Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hari. Raba suhu anak. Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.

Pencegahan
Segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (langkah 6). Sepanjang malam selalu beri makan. Selalu selimuti dan hindari basah. Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu lama)

3.1.1.1.3 Langkah ke-3 : Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung (penanganan kegawatan)
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak Na dan kurang K untuk penderita KEP berat. Sebagai pengganti, berikan larutan garam khusus yaitu Resomal atau penggantinya. Tidaklah mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus diberi cairan resomal/pengganti sebanyak 5 mL/kgbb setiap 30 menit selama 2 jam p.o. atau lewat pipa nasogastrik. Selanjutnya beri 5-10 mL/kgbb/jam untuk 4-10 jam berikutnya; jumlah tepat yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah. Ganti resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula khusus sejumlah, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil. Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6). Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik, dan anak mulai kencing.

Tabel 3.2 Komposisi oral rehidration salts solution for severely malnourished (ReSoMal)

Pemantauan
Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam selama 2 jam pertama kemudian tiap jam untuk 6-12 jam, dengan memantau denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing dan frekuensi diare/muntah. Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada KEP berat perubahan ini sering kali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan cairan.
Tanda kelebihan cairan : frekuensi pernafasan dan nadi meningkat, edema dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam.
Pencegahan
Bila diare encer berlanjut, teruskan pemberian formula khusus (langkah 6). Ganti cairan yang hilang dengan Resomal/pengganti sebagai pedoman, berikan Resomal/penganti sebanyak 50-100mL setiap kali buang air besar cair. Bila masih mendapat ASI teruskan.

3.1.1.1.4 Langkah ke-4 : Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pada semua KEP berat terjadi kelebihan Na tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah. Defisiensi K dan Mg sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu, untuk pemulihan. Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan dalam terjadinya edema (jangan obati edema dengan pemberian diuretik). Berikan K 2-4 mEq/kgbb/hr (150-300 mg KCL/kgbb/hr), Mg 0,3-0,6 mEq/kgbb/hr (7,5-15 mg MgCl2/kgbb/hr). Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah Na (resomal/pengganti). Siapkan makanan tanpa diberi garam. Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 mL larutan pada 1 L formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg.

3.1.1.1.5 Langkah ke-5 : Pengobatan dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi seperti demam seringkali tidak tampak, karenanya pada semua KEP berat beri secara rutin antibiotika spektrum luas. Vaksinasi campak bila usia anak > 6 bulan dan belum pernah diimunisasi (bila keadaan anak sudah memungkinkan, paling lambat sebelum anak dipulangkan). Ulangi pemeberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik. Beberapa ahli memberikan metronidazol (7,5 mg/kgbb, setiap 8 jam selama 7 hari) sebagai tambahan pada antibiotika spektrum luas guna mempercepat perbaikan mukosa usus dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerob dalam usus halus.
Pilihan antibiotika spektrum luas, bila tanpa penyulit Kotrimoksazol 5 mL suspensi pediatri p.o. 2x/hari selama 5 hari (2,5 mL bila berat badan < 4 kg). Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit (hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), berikan Ampisillin 50mg/kgbb im/iv setiap 6 jam selama 2 hari, kemudian p.o. amoksisilin 15mg/kgbb setiap 8 jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgbb setiap 6 jam p.o. dan Gentamisin 7,5 mg/kgbb/i.m./i.v. sekali sehari selama 7 hari. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloamfenikol 25 mg/kgbb/i.m/i.v. setiap 6 jam selama 5 hari. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai. Tambahkan obat malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotika, lengkapi pemberian hingga 10 hari. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara lengkap, termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.

3.1.1.1.6 Langkah ke-6 : Mulai pemberian Makanan
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hati-hati karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostasis berkurang. Pemberian makanan harus segera dimulai setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal saja.
Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas (tabel pemberian diet dan cairan). Berikan formula dengan cairan/gelas. Bila anak terlalu terlalu lemah, berikan dengan sendok/pipet. Pada anak dengan selera makan baik tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap).
Bila masukan makanan < 80 Kkal/kgbb/hr, berikan sisa formula nasogastrik. Jangan memberikan makanan lebih dari 100 Kkal/kgbb/hr pada fase stabilisasi ini. Pantau dan catat jumlah yang diberikan dan sisanya, muntah, frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja dan berat badan harian. Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan-lahan berkurang dan berat badan mulai naik, tetapi pada penderita dengan edema, berat badannya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik. Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah berhati-hati, lihat bab diare persisten.

3.1.1.1.7 Langkah ke-7 : Perhatikan Tumbuh Kejar
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagi pendekatan secara gencar agar tercapai masukan makan yang tinggi dan pertambahan berat badan lebih dari 10 gram/kgbb/hari. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu, setelah dirawat.
Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan.
o Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0,9-1 g per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2,9 g per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam.
o Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
o Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi
o Frekuensi nafas
o Frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 x/ menit dan denyut nadi > 25 x/ menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi volume pemberian formula.
Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi
o Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering
o Energi 150-220 Kkal/kgBB/hari
o Protein 4-6 g/kgBB/hari
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar.
Pemantauan setelah periode transisi
o Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan
o Timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan
o Setiap minggu, kenaikan BB dihitung (g/kgBB/hari)
o Bila kenaikan BB
o Kurang (< 5 g/kgBB/hr) perlu re-evaluasi menyeluruh
o Sedang (5-10 g/kgbb/hr), evaluasi apakah masukan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.

3.1.1.1.8 Langkah ke-8 : Koreksi Defisiensi Nutrien-mikro
Semua KEP berat, menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya.
Berikan setiap hari multivitamin, asam folat 1 mg/hr 95 mg pada hari pertama), seng (Zn) 2 mg/kgbb/hr, tembaga (Cu) 0,25mg/kgbb/hr. Bila berat badan mulai naik : Fe 3 mg/kgbb/hr atau sulfas ferrosus 10 mg/kgbb/hr.
Vitamin A oral pada hari ke-1
Anak > 1 tahun : 200.000 SI
6-12 bulan : 100.000 SI
0-5 bulan : 50.000 SI (jangan berikan bila pasti sebelumnya
anak sudah mendapat vitamin A)
3.1.1.1.9 Langkah ke-9 : Berikan Stimulasi Sensorik dan Dukung Emosional
Anak dengan KEP berat memiliki keterlambatan perkembangan mental dan prilaku yang bila tidak diobati akan menjadi masalah serius jangka panjang. Stimulasi fisik dan emosional yang dilalukan melalui program yang dimulai sejak rehabilitasi hingga pasien pulang, akan mengurangi risiko retardasi mental dan gangguan emosional.
Wajah anak jangan ditutup; anak harus bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi disekelilingnya. Anak jangan dibungkus kain atau diikat untuk mencegah ia berpindah dari tempat tidurnya.
Sangat penting keberadaan ibu atau pengasuh anak ini di rumah sakit dan ia didorong untuk terus memberi makan, menjaga anak agar tetap nyaman dan terus bermain dengannya jika memungkinkan. Setiap orang dewasa disekelilingnya harus berbicara berinteraksi, tersenyum kepada anak. Bial ada prosedur medis yang tidak nyaman (setelah penyuntikan atau pemasangan infus) sebaiknya orang tua atau pengasuhnya mendukung anak pada posisi yang nyaman.

Lingkungan
Suasana rumah sakit yang biasa tidak menunjang untuk pengobatan anak KEP.Ruang rawat inap yang dihias dengan dinding berwarna warni akan menarik perhatian anak. Jikalau memungkinkan staf dan pegawai ruang rawat tidak memakai seragam melainkan pakaian seharian.Apron yang berwarna boleh dipakai untuk melindungi baju mereka. Musik dari radio yang mengiringi dapat menambah susasana ceria di ruang rawat. Mainan yang aman,mudah dicuci dan sesuai berdasarkan usia dan perkembangan anak harus selalu tersedia.Pada dasarnya suasana di ruang rawat inap harus santai, ceria, dan menarik.

Kegiatan main anak
Anak yang kekurangan gizi perlu berinteraksi dengan anak-anak lain pada saat rehabilitasi Setelah fase awal rehabilitasi,anak-anak ini perlu menghabiskan waktu yang lama dengan bermain dengan anak-anak lain sambil diawasi oleh ibu atau play guide. Aktivfitas ini tidak meninggikan resiko infeksi silang namun memberi keuntungan yang besar pada anak.Perawat atau sukarelawan harus bertanggungjawab menyediakan kurikulum untuk aktifitas main anak-anak. Aktifitas yang dijalankan bertujuan mengembangkan skill motorik dan bahasa. Waktu 15-30menit disediakan tiap hari untuk bermain dengan setiap anak secara individual.Skill baru harus didemonstrasikan terlebih dahulu oleh yang bersangkutan diikuti oleh anaknya.Effort dari anak harus selalu dipuji.

3.1.1.1.10 Langkah ke -10 : Tindak Lanjut di Rumah
Bila anak berat badannya sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makanan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah setelah penderita dipulangkan.
Peragakan kepada orang tua pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat. Serta terapi bermain yang terstruktur.
Sarankan agar membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur, pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster) serta pemberian vitamin A setiap 6 bulan.

3.1.1.2 Fase Rehabilitasi
Seorang anak dianggap memasuki fase rehabilitasi bila nafsu makannya telah membaik. Sebaliknya bila pemberian makannya masih tetap melalui NGT maka ia belum bisa memasuki fase rehabilitasi (WHO, 1999).
3.1.1.2.1 Prinsip Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan fase rehabilitasi adalah:
o Mendorong anak untuk makan yang banyak
o Memulai atau medukung proses menyusui bila memungkinkan
o Menstimulasi perkembangan fisik dan emosi
o Mempersiapkan ibu atau pengasuh untuk merawat anak setelah pemulangan dari rumah sakit
Kriteria pemindahan terapi nutrisi anak ke fase rehabilitasi:
o Nafsu makan baik
o Status mental membaik: tersenyum, dapat menerima rangsangan, tertarik terhadap lingkungan
o Duduk, merangkak, berdiri atau berjalan (sesuai usia)
o Suhu tubuh normal (36.5–37.5 °C)
o Tidak ada muntah dan diare
o Tidak ada edema
o Peningkatan berat badan > 5gr/kgbb/hari

3.1.1.2.1 Penyuluhan mencegah rekurensi
Orang tua harus diberi pengetahuan bagaimana cara mencegah rekurensi dari malnutrisi.Sebelum anak dipulangkan orang tua harus memahami penyebab dan cara mencegah malnutrisi yang meliputi feeding yang benar,dan stimulasi mental dan emosional yang berterusan.Pengetahuan tentang cara mengobati diare dan infeksi lain harus adequate sehingga penyuluhan harus diberi kepada orang tua. Aktifitas main (play activity) yang sesuai untuk anaknya juga harus diajarkan kepada ibunya.

3.1.1.2.2 Kriteria memulangkan pasien
Seorang anak dikatakan sembuh dan dapat dipulangkan apabila BB/U > 80% atau BB/TB >90% menurut standard NCHS/WHO. Pada saat tertentu anak dapat dipulangkan sebelum mencapai standard diatas tetapi dipantau terus sebagai outpatient.

3.1.1.2.3 Diet
Sewaktu rehabilitasi anak harus terus diberi makanan minimal 5kali sehari.Setelah sampai 1 SD dari nilai median NCHS/WHO anak diberi makan 3x sehari di rumah.

.









3.1.1.2.4 Immunization
Sebelum dipulangkan pasien harus diimunisasi mengikut ketentuan di Negara masing-masing.Orang tua harus diinformasikan untuk membawa anaknya untuk imunisasi ulang dan booster.

3.1.1.2.5 Follow-up
Pasien diinformasikan untuk kontrol seminggu sejak tanggal dia dipulangkan. Follow up lebih baik dilakukan di klinik yang khusus untuk anak kekurangan gizi daripada klinik pediatrik biasa. Bilamana mugkin volunteer diatur untuk melakukan homevisit dan mencari solusi mengatasi masalah sosial dan ekonomi keluarga pasien selain kounseling

3.1.2 PENGOBATAN PENYAKIT PENYERTA
Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP berat, yaitu : defisiensi vitamin A, dermatosis, parasit/cacing, diare melanjut, dan tuberkulosis (khusus tuberkulosis, pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/Mantoux (seringkali alergi) dan Rö-foto toraks. Bila positif, sangat mungkin tuberkulosis (TB), obati sesuai pedoman pengobatan TB).
3.1.2.1 Defisiensi vitamin A
Bila terdapat defisiensi vitamin A pada mata maka berikan vitamin A pada hari ke-1, 2 dan 14 p.o dengan dosis :
o Usia > 1 thn : 200.000 SI/x
o 6-12 bulan : 100.000 SI/x
o 0-5 bulan : 50.000 SI/x
Bila terdapat ulserasi pada mata maka tambahkan perawatan lokal untuk mencegah prolaps lensa berupa :
o Tetes mata kloramfenikol atau salep mata tetrasiklin setiap 2-3 jam selama 7-10 hari
o Tetes mata atropin, 1 tetes, 3 kali sehari selama 3-5 hari
o Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali

3.1.2.2 Dermatosis
Dermatosis (ditandai hipo/hiperpigmentasi, deskuamasi/ kulit mengelupas, lesi ulserasi eksudatif yang menyerupai luka bakar dan sering disertai infeksi sekunder antara lain oleh kandida; umumnya terdapat defisiensi Zn).
Setelah suplementasi Zn dan dermatosis membaik maka penyembuhan akan lebih cepat bila :
o Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KMnO4 1% selama 10 menit.
o Salep/krim (Zn dengan minyak kastor)
o Usahakan daerah perineum tetap kering

3.1.2.3 Parasit/cacing
Pengobatan dilakukan dengan memberikan Mebendazol 100 mg p.o. 2x sehari selama 3 hari.

3.1.2.4 Diare berlanjut
Diare berlanjut (diare biasa menyertai KEP berat tetapi akan berkurang dengan sendirinya pada pemberian makanan secara hati-hati. Intoleransi laktosa tidak jarang sebagai penyebab diare. Diobati hanya bila diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum)
o Berikan formula bebas/rendah laktosa
o Metronidazol 7,5 mg/kgBB p.o setiap 8 jam, selama 7 hari
o Sering kerusakan mukosa usus dan giardiasis merupakan penyebab lain berlanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik.

3.1.3 KEGAGALAN PENGOBATAN
Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat badan :
1. Tingginya angka kematian
Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi kematian :
 Dalam 24 jam pertama : kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis yang terlambat/ tidak terdeteksi, atau proses rehidrasi kurang tepat.
 Dalam 72 jam : diperiksa apakah volume formula terlalu banyak atau pemilihan formula tidak tepat.
 Malam hari : kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang memadai, tidak diberi makan, perubahan konsentrasi formula terlalu cepat.
2. Kenaikan berat badan tidak adekuat pada fase rehabilitasi
Penilaian kenaikan BB : - baik : > 10 g/kgBB/hr
- sedang : 5-10 g/kgBB/hr
- kurang : <5 g/kgBB/hr
Kemungkinan penyebab kenaikan BB < 5gram/kgBB/hari antara lain:
 pemberian makanan tidak adekuat
 defisiensi nutrien tertentu, seperti vitamin, mineral
 infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati.
 masalah psikologis.

3.1.3 PENANGANAN PASIEN PULANG SEBELUM REHABILITASI TUNTAS
Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila gejala klinis sudah menghilang, berat badan/umur > 80% atau berat badan/tinggi badan >90%. Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, di rumah harus diberi makanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6 gram/kgBB/hari):
o Memberi makanan untuk anak yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling sedikit 5 kali sehari.
o Memberi makanan selingan diantara makanan utama.
o Mengupayakan makanan selalu dihabiskan.
o Memberi suplementasi vitamin dan mineral atau elektrolit.
o Meneruskan ASI.

3.1.4 TINDAKAN PADA KEGAWATAN
3.1.4.1 Syok (renjatan) :
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit membedakan keduanya secara klinis. Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian cairan intravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan :
Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaC1 0,9% (1:1) atau larutan Ringer dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam 1 jam pertama.
Evaluasi setelah 1 jam :
o Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernafasan) dan status hidrasi/syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan pemberian Resomal/pengganti, per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula khusus (F-75/pengganti).
o Bila tidak ada perbaikan klinis pada anak menderita syok septik. Dalam hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75/pengganti).

3.1.4.2 Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila :
o Hb <4 g/dl
o Hb 4-6 g/dl disertai distres pernafasan atau tanda gagal jantung.
Transfusi darah :
o Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ‘packed red cells’ untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
o Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v. pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok).
Bila pada anak dengan distres nafas setelah transfusi Hb tetap <4 g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan mengulangi pemberian darah.



3.2 TATA LAKSANA DIET PADA BALITA KEP BERAT/GIZI BURUK
Tata laksana diet pada balita KEP berat/gizi buruk ditujukan untuk memberikan makanan tinggi energi, tinggi protein serta cukup vitamin dan mineral secara bertahap, guna mencapai status gizi optimal.
Ada 4 kegiatan penting dalam tata laksana diet, yaitu pemberian diet, pemantauan dan evaluasi, penyuluhan gizi, serta tindak lanjut.

3.2.1 Pemberian diet
Pemberian diet pada KEP berat/gizi buruk harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Melalui 3 periode yaitu periode stabilisasi, periode transisi, dan periode rehabilitasi.
2. Kebutuhan energi mulai dari 80 sampai 200 kalori per kg BB/hari.
3. Kebutuhan protein mulai dari 1 sampai 6 gram per kg BB/hari.
4. Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau pemberian bahan makanan sumber mineral tertentu, sebagai berikut :
Bahan makanan sumber mineral khusus :
 Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam.
 Sumber Cuprum : tiram, daging, hati
 Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai
 Sumber Magnesium : daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan, bayam,
 Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel, alpukat, bayam, daging tanpa lemak.
5. Jumlah cairan 130-200 ml per kg BB/hari, bila terdapat edema dikurangi.
6. Cara pemberian : per oral atau lewat pipa nasogastrik (NGT).
7. Porsi makanan kecil dan frekuensi makan sering.
8. Makanan fase stabilisasi hipoosmolar/isoosmolar dan rendah laktosa dan rendah serat (lihat tabel formula WHO dan modifikasi).
9. Meneruskan pemberian ASI.
10. Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu:
BB<7 kg diberikan kembali makanan bayi dan BB >7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara bertahap.
11. Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi.
3.2.2 Evaluasi dan pemantauan pemberian diet
1. BB sekali seminggu: Bila tidak naik, kaji penyebab antara lain: masukkan zat gizi tidak adekuat, defisiensi zat tertentu, misalnya iodium, adanya infeksi, adanya masalah psikologis.
2. Pemeriksaan laboratorium: Hb, Gula darah, feses (adanya cacing), dan urin
3. Masukan zat gizi: bila kurang, modifikasi diet sesuai selera
4. Kejadian diare: gunakan formula rendah atau bebas laktosa dan hiperosmolar, misal: susu rendah laktosa, tempe, dan tepung-tepungan
5. Kejadian hipoglikemi: beri minum air guila atau makan setiap 2 jam









3.2.3 Penyuluhan gizi di rumah sakit
1. Menggunakan leaflet khusus yang berisi: jumlah, jenis, dan frekuensi pemberian makanan
2. Selalu memberikan contoh menu
3. Mempromposikan ASI
4. Memperhatikan riwayat gizi
5. Mempertimbangkan sosial-ekonomi keluarga
6. Memberikan demonstrasi atau praktek memasak makanan balita untuik ibu

3.2.4 Tindak lanjut
1. Merujuk ke puskesmas
2. Merencanakan dan mengikuti kunjungan rumah
3. Merencanakan pemberdayaan keluarga